Dhaka (ANTARA) - Sibuk dengan kuasnya di bawah atap terpal, seniman Rohingya Ansar Ullah mengerjakan mural yang menggambarkan botol raksasa vaksin COVID-19 yang menjulang di atas rumah-rumah kumuh di pemukiman pengungsi terbesar di dunia di Bangladesh.

Lebih dari 700.000 Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar pada 2017 tinggal di kamp-kamp pengungsi Bangladesh, di mana upaya vaksinasi yang dijadwalkan dimulai pada Maret telah ditunda tanpa batas waktu karena keterlambatan pasokan dari program COVAX, kata PBB.

Kasus COVID-19 tetap relatif rendah meskipun baru-baru ini meningkat, tetapi para seniman mengatakan banyak pengungsi memiliki kesalahpahaman tentang vaksin virus corona, yang ingin mereka hilangkan melalui pekerjaan mereka.

"Pertama, kami berharap seseorang atau beberapa organisasi melihat lukisan ini dan membantu kami mendapatkan vaksin. Kamp kami penuh sesak dan kami sangat membutuhkannya," kata Ullah, 26, kepada Thomson Reuters Foundation melalui telepon.

"Ada juga ketakutan tentang vaksin di kamp kami. Ada yang takut mereka mati atau kesehatan mereka memburuk karena suntikan. Kami ingin mengatasi rumor ini, sehingga ketika vaksin datang, semua orang mau divaksin," katanya menambahkan.

Dilukis menjelang Hari Pengungsi Sedunia hari Minggu oleh selusin seniman, mural itu juga menggambarkan seorang pengungsi yang menerima suntikan dan seorang pria yang menggunakan megafon untuk menghilangkan keragu-raguan vaksin dan mendorong penduduk kamp untuk divaksin sesegera mungkin.

"Ketakutan dan stigma seputar COVID-19 telah terbukti menjadi penghalang utama bagi orang yang dites," kata Louise Donovan, juru bicara badan pengungsi PBB, UNHCR, melalui email.

"Oleh karena itu upaya besar sedang dilakukan untuk memastikan bahwa pengungsi memiliki informasi yang memadai ketika kampanye vaksinasi akan dimulai," tambahnya.

Ullah dan rekan senimannya didukung oleh Artolution nirlaba yang berbasis di New York, dan proyek mereka adalah yang terbaru dari serangkaian inisiatif berbasis seni yang ditujukan untuk mengatasi masalah di kamp - dari kekerasan berbasis gender hingga masalah kesehatan mental.

Penyanyi di pesta pernikahan

Penyanyi Rohingya Nabi Hossain biasa tampil di pesta pernikahan di Myanmar, tetapi tahun lalu pria berusia 50 tahun itu mengunjungi rumah-rumah di sekitar kamp untuk menyanyikan lagu tentang pentingnya memakai masker wajah dan menghormati jarak sosial.

"Pesan yang sama diberikan oleh pihak berwenang melalui megafon, tetapi orang-orang memahami pesan dengan lebih baik melalui musik," kata Hossain, 50, yang terpaksa pergi ke Bangladesh setelah desanya dihancurkan selama tindakan keras militer.

Penyelidik PBB kemudian menyimpulkan bahwa kampanye militer Myanmar dilakukan dengan "niat genosida". Myanmar membantahnya, dengan mengatakan tentara sedang memerangi pemberontakan.

Sementara sebagian besar keluarga Hossain berhasil melewati perbatasan dengan selamat, dua saudara perempuannya yang tinggal di desa lain terbunuh.

Hossain mengatakan dia masih berduka untuk saudara perempuannya, tetapi menyanyikan lagu tentang mereka membawa sedikit kelegaan.

“Bukan hanya saya. Banyak orang Rohingya yang kehilangan sanak saudaranya. Mereka meminta saya untuk bernyanyi tentang mereka. Mereka menangis ketika saya bernyanyi tentang hari-hari itu. Tetapi mereka juga tertawa ketika saya menyanyikan lagu-lagu bahagia. Beberapa dari mereka bahkan merekam lagu-lagu itu dan membawanya. kembali,” tambahnya.

Max Frieder, direktur eksekutif dan salah satu pendiri Artolution, mengatakan dia telah menyaksikan "perbaikan besar-besaran" dalam kesehatan mental para seniman yang telah bekerja dengannya dalam beberapa tahun terakhir.

"Pergeseran yang kami lihat tidak selalu kuantitatif, tetapi kualitatif ... Kami telah melihat seniman kami, banyak dari mereka memiliki pengalaman traumatis, dari menjadi korban menjadi penyintas menjadi agen perubahan sosial," katanya.

Banyak mural menghiasi struktur plastik dan bambu di kamp-kamp di Cox's Bazar, sebuah kota di tenggara Bangladesh, dan banyak yang berisi referensi yang lebih luas tentang budaya Rohingya.

Salah satunya menunjukkan seekor gajah menyeberangi sungai Naf, yang harus dilalui ribuan orang Rohingya saat mereka melarikan diri dari Myanmar empat tahun lalu, dan disambut oleh seekor ayam jantan yang melambangkan Bangladesh.

Bahkan ketika para seniman bekerja dalam kemitraan dengan badan-badan PBB dan diberi tema tertentu, penduduk kamp datang dengan ide-ide untuk mural - sering setelah diskusi tentang isu-isu sosial utama dengan anggota komunitas lainnya, kata Frieder.

Harus untuk kesintasan

Sebelum pandemi, teater juga banyak digunakan di kamp-kamp untuk menyoroti keprihatinan warga.

Institut Seni Teater Bangladesh (BITA), sebuah organisasi nirlaba, menyelenggarakan lebih dari 1.200 drama tentang isu-isu termasuk perdagangan, penyalahgunaan narkoba dan pernikahan dini, dan direktur eksekutif entitas, Sisir Dutta, mengatakan mereka telah meningkatkan kesadaran.

"Ambil kasus perdagangan manusia. Awalnya banyak remaja yang tidak tahu istilahnya apalagi bahayanya. Tapi ketika mereka bisa memvisualisasikannya, mereka mengerti bagaimana calo bekerja dan bagaimana nyawa mereka bisa terancam," katanya.

Banyak proyek berbasis seni berkurang selama pandemi, kata Donovan, tetapi dia menambahkan bahwa UNHCR bertujuan untuk meningkatkan proyek seni yang dipimpin masyarakat di akhir tahun dalam kemitraan dengan kelompok-kelompok seperti Artolution.

Pelukis mural COVID-19 lainnya, Ayla Akter, 18, mengatakan inisiatif artistik adalah "suatu keharusan untuk bertahan hidup" di kamp.

"Selama kita duduk bersama dan melukis, kehidupan di kamp terasa sangat menyenangkan," katanya. "Saya tidak benar-benar memiliki hal lain untuk diharapkan. Ini membuat pikiran saya tenang."

Sumber:Reuters
Baca juga: Warga Rohingya keluhkan kondisi di pulau terpencil Bangladesh
Baca juga: Pemimpin junta Myanmar ragukan kembalinya warga Rohingya
Baca juga: Rohingya di Bangladesh bangun kembali gubuk mereka setelah kebakaran

Penerjemah: Mulyo Sunyoto
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021