Palangka Raya (ANTARA) - Anggota DPD, Agustin Teras Narang, mengajak masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah, khususnya di Palangka Raya, untuk mengelola dan manfaatkan lahan miliknya, agar tidak terjadi konflik akibat tumpang tindih kepemilikan, terutama untuk mencegah tahan-tanah mereka itu direbut mafia tanah.

"Informasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Palangka Raya, hampir semua lahan atau tanah kosong di kota ini bermasalah akibat tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya," kata Narang dalam keterangannya yang diterima di Palangka Raya, Senin.

Baca juga: Komisi II DPR catat secara nasional ada 1.700 laporan mafia tanah

Selain itu, lanjut dia, informasi dari BPN Palangka Raya, masyarakat yang memiliki lahan lebih cenderung terfokus fokus pada pengurusan sertifikat kepemilikan tapi tidak melakukan optimalisasi aset alias pendayagunaan lahannya. Kondisi itu bukan hanya membuat penguasaan lahan menghasilkan produktivitas, namun juga rawan terjadi klaim-klaim kepemilikan oleh mafia tanah terhadap lahan yang kosong dan belum dikelola itu.

"Itu sebagian informasi yang saya terima saat bertemu dan berdiskusi secara daring dengan kepala BPN Palangka Raya. Itulah kenapa saya mengajak masyarakat di Kalimantan Tengah, khususnya di Palangka Raya, memanfaatkan atau mengelola lahan miliknya. Jangan dibiarkan kosong," ucapnya.

Baca juga: Akademisi dorong Kapolri konsisten memberantas mafia tanah

Anggota dari Kalimantan Tengah yang tergabung di Komite 1 DPD itu sedang berkonsentrasi dalam program Presiden Jokowi yang berkaitan dengan pertanahan. Apalagi pertanahan ini erat kaitannya dengan isu tata ruang yang juga tak lepas dari perhatian DPD periode 2019-2024.

Ia mengatakan DPD mencatat banyak persoalan terkait pertanahan terjadi di Riau, Jambi,Sumatera Utara, Papua, termasuk di Kalimantan Tengah. Persoalannya pun tidak sederhana, karena menyangkut tumpang tindih aturan serta tidak selarasnya penataan sejak dari masa-masa lalu hingga kini.

"Persoalan di Kalimantan Tengah juga punya sejarah panjang. Secara jujur saya akui, berat menuntaskan isu tata ruang di Kalimantan Tengah. Walau saya berhasil mendorong terbitnya Perda Nomor 05/2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalteng, tapi perda itu tidak sempurna," kata Narang yang pernah menjadi gubernur Kalimantan Tengah ini.

Baca juga: Kejaksaan ajukan kasasi terhadap vonis bebas terdakwa mafia tanah

Gubernur Kalimantan Tengah periode 2005-2015 itu menyebut, terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada 2012 dan 2018, menimbulkan permasalahan yang cukup rumit. Sebab, SK Menteri Kehutanan itu menetapkan kawasan hutan Kalimantan Tengah yang sebelumnya seluas sekitar 66 persen menjadi 82 persen.

Ia mengatakan kondisi itu semakin diperparah akibat adanya surat yang membatalkan Perda Nomor 08/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Alhasil, penataan ruang menjadi makin rumit lagi, terlebih banyaknya pemukiman warga yang tercatat dalam kawasan hutan, menimbulkan sulitnya menjalankan agenda pembangunan.

Baca juga: Kepala BPN gandeng Polri-Kejagung perkuat kepastian hukum pertanahan

"Melalui kesempatan ini, saya mengajak semua pihak dapat lebih jeli dan arif menyelesaikan permasalahan tanah di Kalteng. Terlebih agar kepentingan masyarakat adat juga dapat dilindungi. Sebab, adanya status hukum yang jelas atas kepemilikan atau pemanfaatan lahan, akan menghasilkan kepastian hukum dan kemanfaatan serta keadilan," kata dia.

Pewarta: Kasriadi/Jaya W Manurung
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021