Apa yang dilakukan Polri setidaknya mencegah terjadinya disinformasi terkait dengan COVID-19
Semarang (ANTARA) - Guru Besar Hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Faisal Santiago mengapresiasi kesigapan Polri menangani perkara ujaran kontroversi dr. Lois Owien terkait dengan pandemi COVID-19 di Tanah Air, agar yang bersangkutan dan orang lain tidak melakukan hal yang sama.

"Apa yang dilakukan Polri setidaknya mencegah terjadinya disinformasi terkait dengan COVID-19 di tengah masyarakat yang akan berujung pada ketidakpercayaan adanya pandemi ini," kata Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. menjawab pertanyaan ANTARA, di Semarang, Selasa.

Di tengah puluhan ribu dokter sedang berjuang melawan COVID-19 dengan melayani masyarakat, bahkan banyak orang yang meninggal dunia akibat wabah ini, kata Prof. Faisal Santiago, dr. Lois Owien malah menyatakan tidak percaya bahwa virus ini tidak ada, kemudian pernyataannya menjadi viral di media sosial.

Atas pernyataannya itu, menurut Ketua Program Studi Doktor Hukum Unbor Jakarta ini, dr. Lois bisa dikenai Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 14 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).

Selain itu, lanjut Prof. Faisal, yang bersangkutan bisa dikenai Pasal 14 Ayat (2) dan/atau Pasal 14 Ayat (1) KUHP dan UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan/atau Pasal 15 KUHP.

Namun, seperti diberitakan sebelumnya, Polri mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice) dalam menyelesaikan perkara ujaran kontroversi dr. Lois Owien ini.

Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol. Slamet Uliadi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa, menyebutkan Polri mengedepankan keadilan restoratif agar permasalahan opini seperti ini tidak menjadi perbuatan yang dapat terulang di tengah masyarakat.

"Kami melihat bahwa pemenjaraan bukan upaya satu-satunya, melainkan upaya terakhir dalam penegakan hukum, atau diistilahkan ultimum remedium. Polri dalam hal ini mengendepankan upaya preventif agar perbuatan seperti ini tidak diikuti oleh pihak lain," kata Slamet.

Dalam menjalani serangkaian pemeriksaan intensif di kepolisian, kata dia, dr. Lois mengakui kesalahannya atas sejumlah opini mengenai COVID-19.

Kepada penyidik, dr. Lois yang berstatus terduga memberikan sejumlah klarifikasi atas pernyataannya selaku dokter atas fenomena pandemi COVID-19 tersebut.

"Segala opini terduga yang terkait dengan COVID-19, diakuinya merupakan opini pribadi yang tidak berlandaskan riset," kata Slamet yang juga Ketua Satgas Presisi Polri ini.

Ada asumsi yang dibangun sendiri oleh dr. Lois, seperti kematian karena COVID-19 disebabkan interaksi obat yang digunakan dalam penanganan pasien. Begitu pula, opini terduga terkait dengan tidak percaya COVID-19, sama sekali tidak memiliki landasan hukum.

"Pokok opini berikutnya, penggunaan alat tes PCR dan swab antigen sebagai alat pendeteksi COVID-19 yang terduga katakan sebagai hal yang tidak relevan, juga merupakan asumsi yang tidak berlandaskan riset," ujar Slamet.

Dikatakan pula bahwa terduga dr. Lois mengakui opini yang dipublikasikan di media sosial membutuhkan penjelasan medis. Namun, hal itu justru bias karena di media sosial hanyalah debat kusir yang tidak ada ujungnya.

Setelah dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, kata Slamet, pihaknya menyimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatannya dan tidak akan menghilangkan barang bukti, mengingat Polri sudah memiliki seluruh barang bukti tersebut.
Baca juga: Polri tetap proses dr Lois Owien secara hukum meski tak ditahan
Baca juga: Polri mengedepankan keadilan restoratif tangani perkara dr Lois Owien

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021