lebih baik anggaran sebesar ini direalokasikan untuk membantu PJJ
Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta agar Kemdikbudristek menunda pelaksanaan Asesmen Nasional (AN) pada September-Oktober 2021 dikarenakan kondisi pandemi COVID-19.

"Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) sebagai salah satu organisasi guru tingkat nasional meminta kepada Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk menunda penyelenggaraan AN selama kondisi masih pandemi COVID-19,” ujar Kabid Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis.

Ada beberapa pertimbangan mengapa P2G meminta agar AN ditunda. Pertama, P2G menilai kondisi pandemi COVID-19 belum bisa dipastikan kapan akan berakhir. Dampak signifikan pandemi terhadap dunia pendidikan adalah ancaman learning loss, meningkatkan angka putus sekolah jenjang SD seperti di Aceh, Jawa Timur, Maluku Utara, NTB, NTT, dan Papua Barat.

Pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang sudah 1,5 tahun dilaksanakan masih belum efektif. PJJ melahirkan problematika makin besarnya fakta ketimpangan digital. Sehingga ada siswa dan guru yang sanggup melaksanakan proses pembelajaran, sementara itu banyak siswa dan guru yang tak dapat melakukan PJJ.

"Faktanya sebanyak 20,1 persen siswa dan 22,8 persen guru tak memiliki perangkat TIK seperti gawai, komputer dan laptop selama PJJ, mengutip Data Kemendikbud, 2021,” tambah dia.

Kedua, disebutkan bahwa tujuan AN untuk memotret kualitas pendidikan nasional termasuk di dalamnya ekosistem sekolah. Sebenarnya jauh-jauh hari Kemendikbudristek sudah punya datanya. Rapor internasional PISA menunjukkan jika kompetensi siswa Indonesia sangat rendah dalam tiga aspek: literasi, numerasi, dan sains.

Baca juga: Kemendikbudristek sebut Asesmen Nasional bukan untuk "profiling" guru
Baca juga: Upaya peningkatan kualitas pendidikan dengan peniadaan UN


Ia mengungkap, kompetensi Indonesia di bawah rata-rata skor negara OECD, bahkan masuk ranking lima dari bawah. Demikian pula hasil rapor nasional seperti dalam Asesmen Kompetensi Minimum Indonesia (AKSI) atau Indonesian National Assessment Programme, skor siswa kita untuk literasi, matematika, dan sains juga masih di bawah rata-rata alias rendah.

Jika AN tetap dipaksakan di masa pandemi ini, hasilnya juga akan berpotensi sama dengan hasil AKSI dan PISA sebelumnya. Bahkan bisa lebih buruk lagi.

"Wajar saja, sebab kondisi pembelajaran siswa masih sangat terkendala banyak keterbatasan selama PJJ, PJJ tak efektif, serapan materi oleh siswa hanya 30-40 persen, banyak kendala dialami siswa selama belajar, pelatihan guru yang timpang selama pandemi: hanya mengakomodir guru yang punya akses gawai, laptop, dan internet. Guru yang tak ada akses tak akan terjamah padahal mereka butuh perhatian ekstra," papar Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri.

Iman melanjutkan, perihal Survei Karakter juga sudah dilakukan dalam AKSI. Sedangkan Survei Lingkungan Belajar juga tiap tahun dibuat Kemendikbudristek, diisi oleh sekolah melalui format Evaluasi Diri Sekolah (EDS) dan Peta Mutu Pendidikan (PMP).

Survei Karakter dan Lingkungan Belajar juga akan bernasib sama, yaitu sekolah guru dan siswa berlomba mengisi survei dengan jawaban yang positif-positif, agar sekolah mereka dilabeli baik bahkan sangat baik.

Baca juga: BSNP setuju evaluasi belajar kembali ke guru dan sekolah
Baca juga: Kemendikbud tegaskan Asesmen Nasional bukan evaluasi individu murid


Ia menilai, praktik Survei Karakter dan Lingkungan Belajar berpotensi mendorong guru dan siswa menjawab survei dengan tidak jujur. "Demi baiknya profil sekolah di mata pemerintah," sambung Iman.

Iman menambahkan, sekolah dan Dinas Pendidikan (Pemda) pasti tidak mau juga menggadaikan nama baik sekolahnya di mata pemerintah pusat.

"Survei Lingkungan Belajar dan Survei Karakter tidak akan memotret secara komprehensif dan otentik ekosistem sekolah. Sepanjang metode yang digunakan Kemdikbudristek itu-itu saja," kata guru SMA di Jakarta itu.

Hal ketiga mengapa P2G meminta agar AN ditunda yaitu P2G merasa indikator Survei Lingkungan Belajar tidak komprehensif, karena hanya mengambil tiga indikator saja yakni indikator keamanan, indikator keberagaman/inklusivitas, dan kualitas pembelajaran.

"Indikator tersebut sangat parsial dan tidak utuh. Padahal ada delapan Standar Nasional Pendidikan (NSP) yang terdapat dalam UU Sistem Pendidikan Nasional dan aturan turunannya. Mestinya delapan indikator SNP inilah yang dipotret," katanya.

Keempat, dana AN sebaiknya dialokasikan bagi kebutuhan mendasar pendidikan, terutama di masa pandemi COVID-19. "Kemdikbudristek mengalokasikan sekitar Rp1,48 triliun rupiah untuk penyelenggaraan AN. Lebih baik anggaran sebesar ini direalokasikan untuk membantu PJJ agar berkualitas dan mengurangi ketimpangan digital di banyak daerah," katanya.

Kelima, Kemdikbudristek acap kali menyampaikan jika UN berbeda dengan AN. Juga menyatakan AN tak perlu ada persiapan khusus baik oleh siswa, guru, termasuk orang tua. Tetapi faktanya, laporan terbaru dari jaringan guru dan kepala sekolah P2G, Kemdikbudristek baru saja merilis ke pihak sekolah, daftar 45-50 nama siswa kelas VIII dan XI yang dipilih untuk mengikuti AN pada Oktober 2021 nanti.

Bagi P2G, ini strategi yang sangat berbahaya bagi sekolah lebih khusus siswa. Tragedi UN akan kembali terulang jika pola ini tetap dilakukan. Lima puluh siswa yang dipilih ini akan benar-benar terbebani secara psikologis, sosial, bahkan ekonomi.

Baca juga: Asesmen nasional ukur kualitas pendidikan secara komprehensif
Baca juga: Pemerhati sebut Asesmen Nasional akan bawa perubahan pendidikan
Baca juga: Mendikbud: Asesmen Nasional untuk mengetahui kondisi pendidikan

Pewarta: Indriani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021