MPR RI belum memutuskan apa pun
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Lestari Moerdijat memastikan belum ada keputusan apa pun yang dibuat oleh anggota majelis terkait amendemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pasalnya, segala usaha mengamendemen UUD 1945 wajib melalui tahapan yang panjang, antara lain kajian dan evaluasi yang lengkap.

“Dalam posisi saya sebagai Wakil Ketua MPR RI, MPR RI belum memutuskan apa pun, karena sebagaimana kita ketahui proses mengajukan amendemen sangat panjang dan harus didahului oleh kajian,“ kata Lestari saat membuka acara diskusi Forum Denpasar 12 yang berlangsung secara virtual, di Jakarta, Rabu.

Lestari menyampaikan pernyataan itu demi menjernihkan berbagai asumsi dan pertanyaan yang muncul ke publik terkait amendemen terbatas UUD 1945.

Dalam kesempatan itu, ia mengingatkan pihak-pihak yang menghendaki adanya amendemen untuk berhati-hati dan membuka ruang diskusi yang seluas-luasnya untuk publik.

“Kehati-hatian sangat diperlukan. Jangan sampai segala macam ide, usul, upaya, dan wacana yang berkembang saat ini berubah jadi bola liar yang akhirnya merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Lestari Moerdijat.

Menurut dia, prinsip kehati-hatian dan partisipasi aktif publik merupakan faktor penting yang menunjukkan amendemen UUD 1945 itu benar-benar mendesak dan untuk kepentingan rakyat.

Persoalannya saat ini, banyak pihak meyakini amendemen bukan jadi prioritas yang mendesak, mengingat Pemerintah dan seluruh kelompok masyarakat masih berusaha bertahan dari ancaman pandemi COVID-19.

“Permasalahan bangsa ini demikian banyak, dan kita berhadapan pada situasi yang tidak pasti. Rasanya saat ini sebaiknya energi yang kita miliki kita satukan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi keutamaan, termasuk kalau memang amendemen dianggap sebagai keutamaan, mari ini dilakukan dengan baik dan sebenar-benarnya melihat kepentingan dan kemaslahatan bagi rakyat,” ujar Lestari.

Dalam forum diskusi yang sama, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari berpendapat amendemen hanya perlu dilakukan jika memang dibutuhkan oleh publik.

Namun, ia berpendapat amendemen saat ini bukan kebutuhan publik yang mendesak.

“Indikator sebuah perubahan UUD dianggap perlu, yaitu kebutuhan kekinian. Kebutuhan publik hari ini apa. COVID-19 di depan mata. Banyak korban berjatuhan. Pelayanan kesehatan tidak menyeluruh, mencukupi untuk publik secara baik,” kata Feri.

Ia juga mempertanyakan wacana amendemen yang disampaikan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo saat Sidang Tahunan MPR RI pada 16 Agustus 2021.

“Kalau kebutuhan publik berkaitan dengan COVID-19, kok solusinya menambah kewenangan MPR (lewat PPHN, Red.). Begitu jauh antara keinginan publik dan kepentingan politik. Bukankah politik dirancang untuk menyalurkan kepentingan publik,” kata Feri Amsari saat sesi diskusi.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas itu mengingatkan usulan mengamendemen UUD 1945 harus diajukan oleh minimal sepertiga dari jumlah anggota MPR RI atau 237 anggota.

“Usulan itu harus disertai, menurut Pasal 37 (UUD 1945, Red.), oleh kajian yang menyatakan pasal mana saja yang diubah dan alasan kenapa pasal itu diubah,” ujar Feri.

Wacana mengamendemen UUD 1945 kembali ramai jadi pembicaraan publik, setelah Ketua MPR RI bulan lalu menyampaikan pentingnya membentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai cara menjaga pembangunan nasional agar tetap berkesinambungan.

Dalam kesempatan berbeda, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bulan lalu menyampaikan kajian dan naskah akademik terkait PPHN kemungkinan akan rampung pada awal 2022.
Baca juga: Tinggal riak yang pengaruhi opini publik tentang amendemen UUD
Baca juga: Pakar ungkap tiga alasan amendemen konstitusi tak perlu dilakukan

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021