Jakarta (ANTARA) - Ahli dalam sidang uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) Satya Harinanto menyebut bahwa regulasi yang menerapkan metode "Omnibus Law" tersebut merupakan suatu keberhasilan.

"Metode 'Omnibus Law' dalam pembentukan UU Ciptaker merupakan suatu keberhasilan dan mungkin bisa untuk diterapkan di masa-masa yang akan datang," kata Satya dalam uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis.

Dia mengatakan metode penggabungan regulasi atau "Omnibus Law" yang menjadi dasar pembentukan UU Ciptaker merupakan upaya tepat bagi pembangunan hukum Indonesia serta untuk menjawab tantangan saat ini.

Materi peraturan perundang-undangan Indonesia cukup banyak yang saling tumpang tindih sehingga kondisi itu harus diperbaiki melalui metode pembaruan hukum, imbuh Satya.

Dia juga menyebut jika pembaruan hukum dilakukan satu UU digantikan dengan satu UU pula, akan memakan waktu yang sangat panjang.

Baca juga: Said Iqbal singgung kekhawatiran mogok nasional dalam uji UU Ciptaker

Baca juga: Saksi dalam uji formil sebut tidak dilibatkan pembahasan UU Ciptaker


"Satu undang-undang diganti dengan satu undang-undang baru, itu akan memakan waktu yang sangat panjang, padahal kita sekarang berpacu dengan perubahan," ujarnya.

Dalam persidangan tersebut, Satya turut menjabarkan mengenai perspektif sejarah hukum mengenai metode "Omnibus Law" yang bukan merupakan hal baru.

Sejak era Hindia Belanda pada tahun 1819 hingga tahun 1949, dia menjabarkan bahwa terdapat tujuh ribu peraturan, yang kemudian seiring kemerdekaan Indonesia dan terjadi pembaruan hukum, tersisa 400 peraturan perundang-undangan hingga tahun 1995.

Dia juga mencontohkan penerapan metode "Omnibus Law" pada dua undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

"Memang tidak disebutkan secara spesifik (metode 'Omnibus Law'), tetapi secara praktik sudah diterapkan," ucap Satya.

"Omnibus Law", lanjut dia didasarkan pada sejumlah fakta, di antaranya telah adanya perubahan terhadap UUD 1945, terjadinya perubahan struktur lembaga negara, serta adanya perubahan dan tantangan nyata lain yang terkait.

Terdapat enam permohonan dalam uji formil UU Ciptaker, yakni dengan nomor perkara 4, 6/PUU-XIX/2021, 91, 103, 105, dan 107/PUU-XVIII/2020.

Dalam persidangan sebelumnya pada hari Rabu (25/8), Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dan anggota Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional M. Sidarta memberikan keterangannya sebagai saksi pemohon perkara Nomor 4/PUU-XIX/2021 dan pemohon perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021.

Said Iqbal dan M. Sidarta menyinggung pihak serikat buruh dan pekerja tidak dilibatkan dalam proses pembahasan RUU Ciptaker.

Secara khusus, Said Iqbal juga mengatakan bahwa beberapa pertemuan, baik dengan pemerintah maupun DPR, pada akhirnya tidak mengakomodasi aspirasi dan catatan yang diberikan sebagaimana tercermin dalam UU Ciptaker yang telah berlaku saat ini.

Pewarta: Muhammad Jasuma Fadholi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021