Jakarta (ANTARA) - Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (sebagai perubahan atas UU No 11 tahun 1995) tentang Cukai disebutkan tujuan pemerintah menetapkan cukai tembakau yakni untuk mengurangi konsumsi rokok dan mengendalikan distribusi produk tembakau.

Alasannya adalah konsumsi tembakau bisa berakibat buruk bagi kesehatan. Meski telah diputuskan dalam beleid tersebut, pada kenyataannya pemerintah memiliki empat pertimbangan untuk memutuskan kebijakan cukai hasil tembakau (CHT).

Keempat hal itu dikonfirmasi oleh Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam seminar daring yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga pada September 2021. Pertimbangan-pertimbangan itu pun dibicarakan tidak hanya di tingkat teknis tapi sampai dengan rapat bersama Presiden Joko Widodo.

Pertimbangan pertama adalah kondisi Industri Hasil Tembakau (IHT) itu sendiri karena IHT adalah salah satu sektor di dalam perekonomian Indonesia yang menyumbangkan kepada Produk Domestik Bruto (PDB) dan juga PDB Regional daerah termasuk juga penyerapan tenaga kerja di daerah yang memiliki industri tembakau.

Hal kedua adalah sisi pengendalian konsumsi karena kebijakan cukai dapat memengaruhi harga produk hasil tembakau dan juga terkait dengan dengan tingkat konsumsi masyarakat.

Dalam jangka menengah dan panjang, ahli-ahli juga mengatakan konsumsi hasil tembakau memiliki dampak kesehatan, yang artinya juga memiliki dampak terhadap biaya-biaya kesehatan. Ini menjadi dimensi yang harus kita perhatikan dalam perumusan kebijakan harga dan cukai hasil tembakau.

Ketiga, barang industri hasil tembakau yang sifatnya ilegal atau yang diistilahkan Suahasil "belum masuk kelas".

"Kita ingin agar seluruh industri hasil tembakau masuk kelas dan beroperasi sesuai aturan yang berlaku. Taat aturan lebih enak, bisa mendapat input legal, jual output legal, tidak dikejar-kejar," ungkap Suahasil.

Keempat adalah dimensi pendapatan bagi pemerintah pusat dan daerah.

Kebijakan CHT yang diambil pemerintah memang akhirnya mempengaruhi harga produk hasil tembakau dalam hal ini harga rokok.
Baca juga: Indef: Tinjau ulang kebijakan DKI terkait peredaran produk IHT
Baca juga: Kemenkeu terus reformasi kebijakan terkait cukai hasil tembakau


Cukai hasil tembakau

Memang awalnya cukai dipandang sebagai "sin tax" pada abad ke-16 di Belanda yaitu pungutan yang ditetapkan terhadap barang-barang tertentu yang konsumsinya dapat berdampak buruk baik bagi konsumen itu sendiri maupun ke masyarakat seperti alkohol, rokok, obat-obatan tertentu, gula, kopi, dan sebagainya.

Namun dengan berjalannya waktu, cukai bukan hanya sebagai "sin tax" melainkan juga sebagai sumber pendapatan negara yang penting yang bisa membiayai pengeluaran pemerintah dan memperbaiki distribusi pendapatan.

Direktur Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (P2EB FEB UGM) Artidiatun Adji mengatakan UU No 39 tahun 2007 tentang Cukai yang dianut Indonesia berfokus memfungsikan cukai sebagai "sin tax".

"Di regulasi kita, cukai menjadi pengendali konsumsi yang berbeda fungsi dengan cukai sebagai dengan pengoleksi penerimaan negara. Cukai sbagai pengendali konsumsi dilihaat dari penurunan jumlah konsumsi rokok agregat di masyarakat sementara cukai sebagai pengoleksi penerimaan engara dilihat dari realisasi penerimaan dibanding dengan target penerimaan," kata Artidiatun.

Artidiatun mengakui penerapan cukai saat ini saling tercampur dari kedua fungsi tersebut padahal indikatornya berbeda.

"Masalahnya adalah cukai hasil tembakau ini yang diinginkan tidak hanya untuk menurunkan konsumsi tapi juga penerimaan cukai 'back up' penerimaan pajak, terutama dalam beberapa tahun terakhir ketika penerimaan pajak berkurang maka pemerintah mengharapkan penerimaan negara dapat dialihkan ke cukai karena kan selama ini target penerimaan cukai selalu tercapai bahkan melebihi target," ungkap Artidiatun.

Peran cukai sebagai pengendali konsumsi cukup berhasil yang ditunjukkan dengan produksi rokok turun dari 348,1 miliar batang pada 2015 menjadi 341,7 miliar batang pada 2016; 226,3 miliar batang pada pada 2017 dan 322,4 miliar batang pada 2018 meski mengalami kenaikan menjadi 356,5 miliar batang pada 2020. Kenaikan ini diduga karena tarif cukai tidak naik.

Konsumsi rokok juga turun 8,6 persen pada semester 1 2019 dari 129,6 miliar batang pada semester 1 2018 menjadi 118,5 miliar batang pada semester 1 2019.

Sayangnya, meski konsumsi rokok menurun tapi prevelansi perokok anak malah meningkat.

Sesuai data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018). Angka ini telah melewati target capaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 5,4 persen pada 2019.

Sementara cukai yang berfungsi sebagai pengoleksi penerimaan negara trennya makin lama meningkat meski hanya 3 barang yang kena cukai yaitu Hasil tembakau (HT), Etil Alkohol (EA) dan Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA).

Harus diakui, cukai hasil tembakau masih menjadi salah satu andalan penerimaan negara dari pendapatan cukai. Pada 2018, cukai hasil tembakau (CHT) adalah sebesar Rp152,9 triliun atau melebihi target APBN 2018 sebesar Rp148,2 triliun. Capaian CHT itu juga meningkat 3,5 persen (Rp6,3 triliun) dari realisasi 2017.

Adapun penerimaan CHT pada 2019 adalah sebesar Rp164,9 triliun atau melebihi target APBN 2019 sebesar Rp158,85 triliun (tercapai 103,8 persen dari target). Realisasi 2019 lebih tinggi dari realisasi 2018 dengan kenaikan sebesar 7,8 persen atau senilai Rp11,9 triliun.

Selanjutnya pada 2020, dari total pendapatan cukai senilai Rp185,9 triliun, cukai hasil tembakau menyumbang 96,74 persen atau Rp179,83 triliun. Jumlah itu naik 3,67 persen dari capaian 2019.

Dari sini tampak proporsi penerimaan cukai dibanding sumber-sumber penerimaan utama stabil pada kisaran 6-8 persen atau setara dengan 10-11 persen penerimaan domestik.

Pertumbuhan penerimaan cukai pun lebih besar dibanding pertumbuhan belanja APBN meski penerimaan cukai hanya berada dari 3 produk dan 1 produk di antaranya yaitu cukai hasil tembakau mengoleksi 95 persen dari penerimaan cukai.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 pun, pemerintah menargetkan penerimaan cukai meningkat 11,92 persen menjadi Rp203,92 triliun pada 2022 dari Rp182,2 triliun pada 2021 (outlook).

Pendapatan cukai tersebut berkontribusi sebesar 13,96 persen dari total penerimaan pajak yaitu sebesar Rp1,47 kuadriliun pada 2022.
Baca juga: Wamenkeu paparkan empat faktor kebijakan cukai hasil tembakau
Baca juga: Anggota DPR minta pemerintah bijak terkait rencana kenaikan CHT

Tarik-menarik

Meski pendapatan negara dari cukai hasil tembakau terus meningkat tapi sejumlah pihak tetap mendesak pembuatan peta jalan CHT yang merupakan amanat dalam RPJMN 2020-2024 yang telah disahkan menjadi Peraturan Presiden No 18 tahun 2020.

Dalam RPJMN 2020-2024, kebijakan cukai melalui penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau merupakan upaya pemerintah untuk menjaga kesinambungan fiskal khususnya kebijakan pemrintah dalam melakukan penggalian potensi penerimaan negara.

Selain dalam RPJMN 2020-2024, mandat penyederhaan tarif juga muncul dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No 77/PMK/01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan tahun 2020-2024 yang menyatakan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau merpakan bagian dari arah kebijakan penguatan pilar pertumbuhan dan daya saing ekonomi melalui strategi reformasi fiskal.

Aturan yang berlaku saat ini adalah PMK 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang memuat 9 "layer" (lapisan) cukai dengan beberapa golongan yaitu golongan I adalah golongan pengusaha rokok yang memproduksi lebih besar dari 3 miliar batang, golongan II memproduksi sampai 3 miliar batang rokok dan golongan III untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) yaitu produksi tidak lebih dari 500 juta batang rokok.

Pada 2017, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tertanggal 24 Oktober 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), pemerintah sudah berencana untuk menggabungkan sejumlah lapisan tarif CHT di antaranya Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

Namun pada 2 November 2018, usai rapat terbatas Kabinet Indonesia Maju di Istana Kepresidenan Bogor, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kebijakan itu tidak jadi dilakukan dan pemerintah tetap menggunakan tingkat cukai pada 2018 untuk tarif pada 2019.

"Mendengar seluruh evaluasi dan masukan dari sidang kabinet, maka kami memutuskan bahwa untuk cukai tahun 2019, pertama, tidak akan ada perubahan atau kenaikan cukai. Kedua, kami juga akan menyampaikan skenario atau keputusan untuk penggabungan beberapa kelompok juga kita tunda. Kita akan tetap akan mengikuti struktur dari kebijakan cukai tahun 2018 baik dari sisi harga jual, eceran, maupun dari sisi pengelompokannya." kata Sri Mulyani pada 2 November 2018.

Rumitnya lapisan tarif cukai itu menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widyoko malah mengurangi optimalisasi penerimaan negara.

Mengutip Indonesia Budget Center, Danang mengatakan jika penyederhanaan struktur tarif cukai berlaku, maka negara akan mendapat tambahan penerimaan sebesar Rp10,97 triliun pada 2019. Negara juga berpeluang menerima Rp38,91 triliun pada 2020. Hal itu terjadi kalau menggunakan data produksi 2018 dengan tarif cukai rokok naik 23 persen yang memakai lima lapisan (layer) saja.

Danang juga merujuk sumber dari Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Hasil simulasi menunjukkan, jika struktur tarif disederhanakan menjadi lima lapisan, proyeksi pendapatan cukai negara bertambah menjadi Rp237,79 triliun pada 2023.

Sedangkan berdasarkan perhitungan WHO yang dikutip Danang, jika pemerintah Indonesia menaikkan tarif cukai 10-11 persen setiap tahun dengan 5 lapisan tarif maka akan menambah penerimaan negara dari cukai rokok sebesar Rp39,5 triliun pada 2019-2022. namun jika pemerintah menaikkan tarif cukai lebih tinggi yaitu 25 persen per tahun dengan 5 layer pada 2022 maka akan meningkatkan penerimaan negara hingga Rp102,8 triliun pada periode 2019-2022.

Selain meningkatkan penerimaan negara,  penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau juga mendorong pengendalian konsumsi rokok.

"Struktur cukai (berlapis) membuat rokok makin murah, penyederhanaan struktur akan mengurangi insentif produksi merek baru dan variasi harga pun berkurang. Kajian Bappenas juga menunjukkan kenaikan tarif dan simplifikasi cukai akan menurunkan prevalensi perokok anak dan meningkatkan penerimaan cukai," ungkap Danang.

Dalam buku Dinamika Kebijakan Tarif Cukai Rokok: The Untold Story (2019) yang ditulis Sunaryo dkk selaku pegawai Direktorat Jenderal Bea Cukai menyebutkan ada tiga prioritas dalam berbagai periode yang menjadi faktor penentu tarif cukai yaitu optimalisasi penerimaan keuangan (2007-2009), keberlangsungan tenaga kerja (2009-2015) dan kesehatan (2015-2020).

Sementara survei internal DJBC pada 2011, 2014, 2017, sekitar 96 persen tenaga kerja langsung industri hasil tembakau masih diserap pabrik yang memproduksi jenis SKT yang bila tidak ada keberpihakan pemerintah maka pada 2028 jenis SKT ini menjadi langka di pasaran.

Para pembuat sigaret tradisional disebut tidak bisa berkompetisi sehingga bila tarif cukai rokok naik signifikan dampaknya adalah produksi rokok "unregistered" dan rokok ilegal pun tidak bisa dikendalikan.

Memang dengan struktur industri hasil tembakau yang sangat heterogen di Indonesia termasuk adanya industri skala kecil, menengah dan besar bahkan "multinational company", pemerintah menerapkan tarif cukai rokok "multi-tiers" atau multi-strata.

Heterogenitas industri tembakau maupun beragamnya tujuan penerpaan cukai di Indonesia tersebut menurut Artidiatun membuat pemerintah tampak mencoba "menyeimbangkan" berbagai kepentingan yaitu dengan tidak terlalu ekstrim menyederhanakan "layer" cukai rokok atau tidak meningkatkan tarif cukai rokok sangat tinggi.

Penyebabnya adalah kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi dapat mendorong munculnya rokok ilegal karena selisih tarif yang terlalu tinggi antarlapisan sehingga meningkatkan kemungkinan industri rokok dikuasai oleh perusahaan-perusahaan rokok besar (big tobacco).

Berdasarkan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), industri rokok PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk milik Philip Morris asal Amerika Serikat mengantongi pendapatan Rp47,2 triliun di semester I-2021 atau naik 6,5 persen ketimbang pendapatan periode yang sama tahun sebelumnya.

Begitu juga dengan Perusahaan rokok PT Gudang Garam International Tbk, pendapatannya juga naik 12,9 persen menjadi Rp60,6 triliun. Bila dibandingkan pendapatan perusahaan rokok tersebut jauh dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi DKI Jakarta yang memiliki PAD Rp37,41 triliun.
Baca juga: Industri hasil tembakau perlu peta jalan yang komprehensif
Baca juga: Pemerintah perlu susun peta jalan kebijakan pertembakauan


Mendorong peta jalan

Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany pun menilai seharusnya cukai hasil tembakau dirumuskan dalam peta jalan "Pengendalian Konsumsi Tembakau" bukan peta jalan "Industri Hasil Tembakau"

"Di seluruh dunia yang dikembangkan adalah 'sin tax negara-negara itu sangat mengakui bahwa konsumsi rokok membahayakan kesehatan sehingga harus didenda dengan membayar pajak dosa (sin tax) dan uang yang dikumpulkan dari 'sin tax' itu dikembalikan untuk menyehatkan rakyatnya seperti program-program kesehatan," kata Hasubllah.

Di Indonesia, menurut Hasbullah, terjadi kekeliruan paham karena sejumlah pejabat menilai cukai rokok sebagai sumbangan industri rokok.

"Kesalahpahaman inilah di indonesia yang menyebabkan aneh sekali peta jalan konsumsi tembakau disusun Kemenko Perekonomian, harusnya disusun pemerintah dalam rangka menyehatkan rakyatnya kalau rakyat sudah hidup sehat maka rakyat bisa hidup pduktif maka negara bisa memungut pajak dari rakyat yang hidup produktif," tambah Hasbullah.

Hasbullah pun lebih menyetujui agar Bappenas yang memimpin penyusunan peta jalan pengendalian konsumsi tembakau.

"Para pejabat makan dari uang rakyat yang banyak jadi seharusnya mereka bertanggung jawab dengan memprioritaskan kebijakan untuk kepentingan rakyat banyak bukan bagi mereka yang punya bisnis atau insentif dalam industri rokok," ungkap Hasbullah.

Pemerintah sendiri juga sudah membentuk Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang salah satu aksinya adalah perbaikan tata kelola cukai, termasuk cukai rokok. Stanas PK menilai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan cukai belum optimal karena menghadapi sejumlah masalah seperti regulasi, metode perhitungan dan pemungutan sampai pelaporan, struktur tarif serta pengawasan yang perlu pembenahan.

"Dengan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau maka industri di bidang tembakau ini dapat memiliki acuan untuk membuat persiapan yang mana yang pemerintah mau kejar? Apakah peningkatan penerimaan negara atau menekan konsumsi rokok karena penerimaan," kata Koordinator Pelaksana Stranas PK sekaligus Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.

Khusus terkait cukai hasil tembakau, Stranas PK menetapkan dua fokus perbaikan yaitu (1) ketersediaan kebijakan yang komprehensif yang memuat roadmap reformasi di sisi cukai dan (2) penurunan tingkat peredaran cukai ilegal.

"Posisi Stranas PK jelas, harus 'road map' cukai hasil tembakau. Apakah ditarik untuk fokus ke kesehatan atau ingin optimalisasi penerimaan, yang penting ada 'road map' selama 5 tahun karena bila sudah ada maka baik pemerintah maupun sektor usaha dapat membuat mitigasi misalnya apakah fokus ke kesehatan atau fokus ke penerimaan negara," tegas Pahala.

Saat ini peta jalan Cukai Hasil Tembakau masih dibahas secara dinamis di Kementerian Koordinator Perekonomian dan belum ada hasil finalnya.

Akhirnya, pemerintah memang membutuhkan peta jalan yang komprehensif agar arah industri tembakau jelas akan dibawa ke mana mengingat industri ini saling berkaitan dengan urusan petani cengkeh, tembakau, buruh linting, pedangan asongan/eceran, penerimaan negara hingga kesehatan masyarakat.
 

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021