Jakarta (ANTARA) - Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Bivitri Susanti mengatakan tidak adanya psikolog yang mendampingi korban di tahapan pemeriksaan untuk menguatkan mereka menjadi penghambat proses hukum tindak pidana kekerasan seksual.

“Sering kali, pemeriksaan korban kekerasan seksual dilakukan tanpa psikolog. Itu berat sekali,” kata Bivitri Susanti saat menjadi pembicara kunci dalam webinar nasional bertajuk “Kebijakan Negara dalam Menciptakan Ruang Aman Bebas Kekerasan bagi Perempuan dan Anak di Indonesia: Quo Vadis?” yang disiarkan secara langsung dalam kanal YouTube Official Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, dipantau dari Jakarta, Sabtu.

Ketika korban tidak didampingi oleh psikolog, lanjut Bivitri Susanti, mereka akan kesulitan untuk bercerita karena kekerasan seksual itu memberikan beragam dampak negatif, seperti trauma fisik, psikis, bahkan kesulitan untuk bersosialisasi.

Oleh karena itu, proses hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual sepatutnya secara tegas melibatkan peran psikolog ataupun pendamping yang dapat membuat korban merasa nyaman berbicara dan dilindungi di tahapan pemeriksaan.

Selain ketiadaan pendamping, Bivitri juga memaparkan hambatan-hambatan lain dalam proses hukum tindak pidana kekerasan seksual.

Di antaranya adalah ketidakberanian korban melaporkan kasus yang ia alami karena berbagai faktor. Kedua, tambahnya, tidak setiap kasus kekerasan seksual berlanjut sampai ke pengadilan karena kekeliruan penerapan keadilan restoratif yang tidak berpihak pada korban. Ada pula permasalahan pada korban kekerasan seksual yang merupakan penyandang disabilitas. Keterangan dari mereka sebagai korban sulit untuk diperoleh karena minimnya tenaga penerjemah.

Dari segi penjatuhan pidana pun, Bivitri Susanti menyebutkan putusan yang menjatuhkan pidana maksimal kepada pelaku kekerasan seksual masih terbilang minim sebagaimana yang dimuat dalam data kajian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) pada tahun 2016.

Lalu, juga ada judicial stereotyping, yaitu tuduhan dari masyarakat yang menyudutkan korban kekerasan seksual.

“Sering kali, sudah ada tuduhan duluan. Oh pantesan diperkosa memang cantik sih, misalnya begitu,” jelas Bivitri Susanti.

Dari segala hambatan proses hukum dalam penindakan kasus kekerasan seksual, Bivitri Susanti mengimbau agar pemerintah beserta masyarakat Indonesia mulai bergerak memajukan peradaban bangsa dengan menciptakan negara bebas kekerasan.

Hal itu dapat dilakukan melalui pembentukan hukum yang mencakup pencegahan, penindakan, dan penanganan kekerasan seksual oleh lembaga penegak hukum serta dukungan dari masyarakat. Dukungan dapat diwujudkan dengan menaati aturan yang ada dan ikut serta melindungi serta berhenti menyudutkan korban.

“Kita harus memajukan peradaban bangsa dengan menciptakan negara bebas kekerasan,” imbau Bivitri Susanti.

Baca juga: Peneliti: Permendikbudristek 30/2021 cegah kekerasan seksual di kampus

Baca juga: Nadiem sebut ada pandemi kekerasan seksual di perguruan tinggi

Baca juga: Menag: Permendikbudristek PPKS komitmen kembangkan moderasi beragama


Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2021