substitusi energi fosil oleh energi baru dan terbarukan dapat dilaksanakan secara realistis
Jakarta (ANTARA) - Perekayasa Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Unggul Priyanto mendorong percepatan peningkatan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan untuk mendukung target pemerintah mencapai bebas emisi atau net zero emission pada 2060.

"Secara perlahan beberapa pembangkit listrik batubara yang usianya sudah waktunya ganti akan digantikan dengan pembangkit berbasis energi terbarukan," kata Unggul saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.

Sumber energi baru terbarukan bisa berupa antara lain panas bumi, hidro atau air, surya, angin, biomassa, dan nuklir.

Unggul menuturkan pemanfaatan energi baru terbarukan yang menggantikan energi fosil merupakan salah satu cara untuk bisa mencapai target net zero emission.

Baca juga: Prancis siapkan 520 juta euro percepat transisi energi hijau Indonesia
Baca juga: Menteri ESDM: Tambahan pembangkit di Sulut akan dipenuhi dari EBT

Sementara itu, ia mengungkapkan, diusahakan untuk tidak membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara lagi kecuali yang saat ini sudah siap dibangun.

Strategi lain untuk mencapai net zero emission adalah sebagian kendaraan transportasi seperti motor dan mobil akan digantikan dengan kendaraan listrik secara bertahap, sedangkan yang ada terutama kendaraan berat, kapal, truk menggunakan bahan bakar nabati.

"Substitusi energi fosil oleh energi baru dan terbarukan dapat dilaksanakan secara realistis tentunya dengan mengutamakan sumber energi yang murah dan tingkat intermittent rendah atau faktor kapasitasnya tinggi," katanya.

Selain itu, sumber energi juga tersedia dalam jumlah yang cukup besar, misalkan panas bumi dan hidro. Setelah itu, dapat mempertimbangkan penggunaan sumber energi lain.

Sifat intermittent akan mempengaruhi keandalan listrik dari pembangkit listrik karena berkaitan dengan kestabilan pasokan energi. Oleh karenanya, perlu dipastikan pembangkit listrik dapat memasok kebutuhan energi secara stabil.

Baca juga: ESDM: 25 persen dari target EBT bersumber dari bahan bakar nabati
Baca juga: Menteri ESDM: Kesempatan investasi EBT terbuka luas di Indonesia

Unggul mengatakan jika suatu wilayah memiliki kebutuhan listrik tinggi dan di wilayah tersebut tidak ada sumber energi yang memenuhi, maka bisa menggunakan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sepanjang daerah tersebut memenuhi persyaratan keamanan untuk PLTN.

Bila tidak bisa dengan PLTN, bisa menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dengan baterai. Namun, itu membutuhkan biaya cukup tinggi dan risiko keandalan memasok listrik bisa lebih rendah.

Unggul menuturkan sebaiknya sumber energi dengan intermittent atau yang sangat rentan perubahan cuaca atau iklim, komposisinya tidak dominan atau sebesar 20 persen dan direncanakan untuk beban puncak, agar baterai yang digunakan tidak banyak.

Selain itu, ia mengatakan perlu melihat dan memeriksa potensi sumber energi terbarukan yang ada di suatu daerah, baik kuantitas maupun jenisnya sehingga bisa dimanfaatkan dengan maksimal untuk mendukung pemenuhan kebutuhan listrik di wilayah tersebut.

Baca juga: Targetkan bebas emisi 2030, TBS Energi investasikan 500 juta dolar AS

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021