Dengan adanya pidana pengawasan, pidana kerja sosial, diharapkan dapat mengurangi 'overcrowding'.
Jakarta (ANTARA) - Beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) berpotensi membantu pemerintah mengatasi masalah kelebihan kapasitas (overcrowding) di lembaga permasyarakatan, kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Topo Santoso.

Namun, Prof. Topo Santoso mengingatkan upaya mengatasi kelebihan kapasitas tidak dapat sepenuhnya diserahkan ke RUU KUHP karena aturan itu harus didukung oleh beleid lainnya, seperti RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Mahkamah Agung, dan UU Permasyarakatan.

"RUU KUHP tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan ketentuan lain," katanya saat berbicara pada acara diskusi virtual yang diikuti di Jakarta, Selasa.

Dalam paparannya, Prof. Topo, yang saat ini bertugas sebagai anggota Tim Ahli Pembahas RUU KUHP, menunjukkan beberapa pasal memberi opsi bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara bagi pelaku kejahatan. Dengan demikian, tidak semua pelaku pidana ke depannya akan dihukum penjara.

Ketentuan-ketentuan dalam RUU KUHP yang menurut Topo dapat membantu mengurangi masalah kelebihan kapasitas, antara lain Pasal 51, Pasal 52, Pasal 54 ayat (1), Pasal 54 ayat (2), Pasal 57, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 69, Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 71, Pasal 72, dan Pasal 79.

Profesor Topo pada acara diskusi menyampaikan ke depannya jika RUU KUHP disahkan jadi undang-undang ada beberapa rambu yang harus diperhatikan hakim sebelum menjatuhkan pidana penjara.

Baca juga: Anggota DPR dukung dua pedoman jaksa mengatasi "overcrowding" lapas

Pasal 70 ayat (1) dalam RUU KUHP mengatur pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan pada terdakwa anak, terdakwa berusia di atas 75 tahun, terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana, kerugian dan penderitaan korban tidak besar, terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban, terdakwa tidak menyadari perbuatannya menimbulkan kerugian besar, tindak pidana karena hasutan, dan korban turut mendorong adanya perbuatan pidana.

Keadaan lain yang dapat jadi pertimbangan hakim tak menjatuhkan hukuman penjara, yaitu tindak pidana akibat dari keadaan yang tidak mungkin terulang, serta kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan yang tak mengulangi perbuatannya.

Selain itu, pidana penjara akan membuat terdakwa dan keluarganya sangat menderita, pembinaan di luar lapas akan berhasil untuk terdakwa, pidana ringan tidak akan mengurangi beratnya tindak pidana terdakwa, tindak pidana terjadi di kalangan keluarga, dan tindak pidana karena kealpaan.

"Untuk menjatuhkan pidana penjara, ada rambu yang cukup banyak sehingga hakim jika bisa menjatuhkan pidana yang lain, misalnya pidana pengawasan atau percobaan (probation), atau pidana community service order (kerja sosial), maka yang lain itu yang dijatuhkan," kata Topo.

Namun, opsi itu hanya berlaku pada terdakwa yang ancaman penjaranya di bawah 5 tahun.

Bagi terdakwa yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih, atau mereka yang melakukan tindak pidana yang sangat berbahaya dan merugikan masyarakat, keuangan, serta perekonomian negara, kata Prof. Topo, tidak mendapatkan opsi lain di luar hukuman penjara.

Disebutkan pula bahwa ketentuan itu diatur dalam Pasal 70 ayat (2) RUU KUHP.

Terkait dengan hukuman lain selain penjara, Pasal 65 RUU KUHP mengatur adanya pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Dalam RKUHP penjara merupakan hukuman paling berat untuk pelaku tindak pidana, sementara kerja sosial jadi hukuman paling ringan.

"Dengan adanya pidana pengawasan, pidana kerja sosial, diharapkan dapat mengurangi overcrowding itu sehingga ketika menjatuhkan penjara ada rambu-rambunya untuk diikuti seorang hakim," kata Topo Santoso.

Baca juga: Perlu jaga keharmonisan antara KUHP dan UU khusus

Baca juga: Akademikus: Terlalu banyak aturan korupsi tak efektif penerapannya

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021