Jakarta (ANTARA) - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan optimalisasi penanganan korupsi di Indonesia dapat melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK), dan revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

"Hari ini ada tiga undang-undang yang dibutuhkan oleh aparat penegak hukum. Pertama, RUU Perampasan Aset, lalu RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” ujar Kurnia Ramadhana.

Hal itu disampaikan Kurnia Ramadhana saat menjadi narasumber dalam diskusi Headline Talks Hukum Online bertajuk Evaluasi Kinerja Pemerintah dalam Pemberantasan Korupsi yang disiarkan langsung di akun Instagram hukum_online, dipantau dari Jakarta, Rabu.

Menurut Kurnia Ramadhana, fakta di lapangan justru memperlihatkan bahwa pemerintah lebih berfokus memperbaiki regulasi melalui revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tindakan seperti itu, kata dia, berkemungkinan memperlihatkan munculnya disorientasi politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kurnia Ramadhana memandang langkah revisi Undang-Undang KPK justru berpotensi memperlihatkan penurunan semangat pemberantasan korupsi di level pemerintah.

Oleh karena itu, pemerintah sudah sepatutnya menunjukkan komitmen dalam pemberantasan korupsi dengan lebih memperhatikan pengesahan RUU Perampasan Aset, RUU PTUK, dan revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Ia bahkan menyebutkan tiga aturan tersebut merupakan ramuan mujarab untuk menangani tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, Kurnia Ramadhana mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi mengoptimalkan pemberantasan korupsi di Indonesia dengan mendorong perbaikan regulasi oleh Pemerintah, terutama melalui pengawalan terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset.

"Permasalahan penanganan korupsi itu adalah pemulihan kerugian negara. Hal ini tidak bisa bergantung pada putusan-putusan pidana penjara. Maka dari itu, semua pihak harus mengawal perancangan dan pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset ini secara benar dan objektif," katanya.

Di samping itu, Kurnia Ramadhana pun berharap aparat penegak hukum dalam menangani kasus korupsi dapat meninggalkan sikap membenarkan tindakan teman sejawat dan melakukan pembenaran.

"Praktik membenarkan tindakan teman sejawat, memberikan alasan pembenar, bukan alasan yang benar, rasanya harus ditinggalkan hari ini," ucap Kurnia Ramadhana.

Baca juga: Pemerintah kembali ajukan RUU Perampasan Aset ke DPR

Baca juga: Wakil Ketua Baleg DPR sepakat RUU Perampasan Aset masuk Prolegnas 2022

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022