Jakarta (ANTARA) - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) RI Johnny G Plate menegaskan bahwa penggunaan pita frekuensi 3,7 Ghz hingga 4,2 Ghz di Indonesia digunakan untuk komunikasi satelit, bukan untuk implementasi 5G.

"Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo tetap akan menggunakan pita frekuensi 3,7 sampai 4,2 GHz guna keperluan komunikasi satelit. Sekali lagi, Kementerian Kominfo tetap akan menggunakan pita frekuensi 3,7 sampai 4,2 GHz guna keperluan komunikasi satelit, bukan untuk 5G," tegas Menkominfo dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu.

Hal ini menyusul pemberitaan bahwa jaringan 5G di Amerika Serikat ditunda pada sejumlah kawasan terbatas, khususnya di sekitar bandara utama (key airports) pada 18 Januari waktu setempat, karena adanya risiko akan 5G dengan penerbangan.

AS diketahui menggunakan pengaturan frekuensi 5G dengan pita frekuensi 3,7 hingga 3,98 Ghz.

Namun demikian, pemerintah AS tetap mengizinkan penggelaran jaringan 5G sesuai jadwal yang telah ditentukan pada wilayah yang berada di luar bandara-bandara tersebut.

Menteri Johnny mengatakan, hal itu dapat disimpulkan 90 persen dari rencana penggelaran jaringan 5G tidak terhambat dengan pembatasan tersebut. Paralel dengan pembatasan tersebut, solusi teknis yang bersifat praktis tetap dicari dan diupayakan oleh pembuat kebijakan terkait di negara itu.

Bicara soal keamanan 5G dan penerbangan di Indonesia, Menkominfo mengatakan Indonesia akan memanfaatkan pita frekuensi yang lebih rendah, yaitu pada pita frekuensi 3,5 GHz yang berada pada rentang 3,4 sampai 3,6 Ghz.

"Dengan membandingkan kondisi pengaturan frekuensi 5G di Amerika Serikat yang menggunakan pita frekuensi 3,7 sampai 3,98 GHz. Sedangkan Indonesia pada rentang 3,4 sampai 3,6 GHz, dan memperhatikan bahwa alokasi frekuensi untuk radio altimeter yang telah ditetapkan oleh Radio Regulations dari Internasional Telecommunication Union (ITU) adalah pada rentang 4,2 sampai 4,4 GHz," jelas Johnny.

"Maka, pengaturan frekuensi 5G di Indonesia dapat dikatakan relatif aman. Hal ini disebabkan tersedianya guard band sebesar 600 mhz yang membentang dari mulai frekuensi 3,6 GHz sampai dengan 4,2 GHz guna membentengi radio altimeter dari sinyal jaringan 5G," imbuhnya.

Menkominfo mengatakan guard band tersebut hampir tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan yang disediakan di Amerika Serikat.

"Potensi interferensi antara 5G dengan radio altimeter telah dan saat ini sedang dikaji Kementerian Kominfo dengan melibatkan para akademisi serta bekerja bersama Kementerian Perhubungan," kata dia.

"Kementerian Kominfo senantiasa akan terus menjaga setiap komunikasi yang memanfaatkan sumber daya spektrum frekuensi radio bebas dari gangguan atau interferensi terlebih radio altimeter, suatu sistem yang berkaitan erat dengan keselamatan penerbangan," imbuhnya.

Sebelumnya, seorang kepala eksekutif maskapai penumpang dan kargo AS memperingatkan krisis penerbangan yang akan datang dalam waktu kurang dari 36 jam, ketika AT&T dan Verizon akan menerapkan layanan 5G baru.

Maskapai memperingatkan bahwa layanan C-Band 5G baru yang akan dimulai pada hari Rabu (19/1) dapat membuat sejumlah besar pesawat berbadan lebar tidak dapat digunakan, dan menyebabkan "kekacauan" untuk penerbangan AS.

Administrasi Penerbangan Federal AS (FAA) telah memperingatkan bahwa potensi gangguan dapat memengaruhi instrumen pesawat yang sensitif seperti altimeter dan secara signifikan menghambat operasi dengan visibilitas rendah.

Baca juga: Maskapai AS: 5G bisa membawa petaka penerbangan

Baca juga: Kominfo sebut penggelaran fiber optik secara luas kunci 5G stabil

Baca juga: Ericsson gugat Apple soal penggunaan paten nirkabel 5G iPhone


Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022