Tantangannya yakni agar bisa menyediakan layanan air bagi penduduk dan tetap melestarikan lingkungan
Jakarta (ANTARA) - Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia (Watapri) untuk UNESCO Prof Ismunandar mengatakan "megacities" atau kota yang menampung lebih dari 10 juta penduduk menghadapi tantangan besar dalam penyediaan layanan air.

“Tantangannya yakni agar bisa menyediakan layanan air bagi penduduk dan tetap melestarikan lingkungan,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Sebelumnya, UNESCO menyelenggarakan Konferensi Internasional tentang Air, Megacities, dan Perubahan Global (Second International Conference on Water, Megacities and Global Change secara hibrida pada 12-14 Januari 2022.

Para pemimpin kota-kota besar di dunia, termasuk DKI Jakarta, menyampaikan praktik baik seputar pengelolaan air, kota besar, dan perubahan global.

Konferensi itu dilaksanakan sebagai ajang bertemu dan diskusi para ahli air dunia dengan para pengambil kebijakan di kota-kota besar.

Sejumlah gubernur hadir dalam pertemuan itu, yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beserta pemerintahan kota lainnya di dunia seperti Bogota, Istanbul, Lahore, Lima, Los Angeles, Moskow, Mumbai, New York, Paris, Rio de Janeiro dan Niteroi, Sao Paulo, serta Teheran.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyampaikan praktik baik yang dilakukan pemerintah di Kota Jakarta dalam menangani air pada saat penghujan dan menampungnya sehingga menjadi cadangan pada musim kering.

Efek perubahan iklim semakin besar seiring munculnya tantangan global seperti kenaikan permukaan laut, peningkatan suhu hingga urbanisasi yang menjadi tantangan bagi kota-kota besar di dunia.

Gubernur DKI juga menampilkan hasil-hasil riset yang dilakukan sejumlah ilmuwan Indonesia dari berbagai universitas.

“Banyak ilmuwan mengingatkan kita tentang peningkatan temperatur udara 1,5 derajat. Saya mengajak kota-kota besar (megacities) di dunia untuk mengimplementasikan apa yang telah disepakati di COP26 Glasgow hingga ke tingkat pemerintah daerah/lokal. Karena dari sana kita belajar bahwa kebijakan pengelolaan air memang sangat dibutuhkan,” katanya.

Ia mengatakan perubahan iklim adalah sesuatu yang harus dihadapi. Dampaknya mempengaruhi kota-kota besar termasuk Jakarta sebagai kota megadelta. Dari segi habitat, terdapat 12 juta orang yang ada di Jakarta dan 30 juta orang lainnya berada di kota-kota penyangga sekitarnya.

“Posisi Jakarta dalam mitigasi perubahan iklim dan upaya adaptasi menjadi sangat krusial. Hal ini mendesak kita semua untuk mencari strategi dalam mengelola integrasi yang berkelanjutan terkait kaum urban ini,” kata Anies.

Setidaknya ada tiga tantangan yang berhubungan dengan pengelolaan air yang tercermin berdasarkan pengalaman yang berlangsung di Jakarta. Bahkan, pengelolaan air menjadi isu yang harus dihadapi bersamaan dengan perubahan iklim. Pertama, saat bicara tentang isu air di perkotaan maka jika debit air terlalu sedikit akan menjadi isu, dan jika debit air terlalu banyak juga akan menjadi isu.

Di satu sisi, kata dia, Jakarta harus menjadi daerah yang menyokong kebutuhan air bagi penduduk di area tersebut. Di lain sisi, tantangan yang dihadapi Jakarta adalah adalah banjir, kenaikan permukaan laut, dan penurunan permukaan tanah.

“Untuk itu, Jakarta harus melakukan serangkaian upaya dalam hal perubahan iklim hingga tahun 2030,” katanya menegaskan.

Kedua, data administrasi penduduk yang hampir menyentuh batas maksimalnya. Menurut Anies, harus ada pemerintahan bertingkat pada megakota yang mengintergrasikan data tentang lahan yang digunakan, pembangunannya, dan pengelolaan airnya.

“Jakarta berinisiatif untuk bekerja sama dengan kota-kota penyangga sekitar dalam rencana bersama terkait pengelolaan air, penyediaan air bersih, konservasi air, hingga aspek finansial,” katanya.

Ketiga, paradigma pengelolaan yang berkelanjutan belum menjadi kebiasaan rutin masyarakat. Paradigma itu adalah bagaimana menjaga agar keberadaan air dapat mencukupi segala macam kondisi dan kebutuhan masyarakat di kota.

“Contohnya, kita menampung air hujan sebagai cadangan air di saat musim kemarau tiba. “Kami mempertimbangkan bahwa curah hujan bukan hanya sebagai ancaman bagi kota, melainkan ini adalah bagian dari cara baru mengamankan suplai air yang kita bisa ambil,” demikian Anies Baswedan.


Baca juga: LIPI-Unesco kaji ekohidrologi atasi krisis air global

Baca juga: Bappenas: Krisis air bersih di beberapa daerah bebani rakyat miskin

Baca juga: PBB: 71 persen populasi Lebanon berisiko kehilangan akses air bersih

Baca juga: UNESCO siapkan alat pengadaan air bersih di Medan

Pewarta: Indriani
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022