Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR RI Vera Febyanthy meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengutamakan kepentingan nasabah dalam persoalan produk unitlink yang dimiliki oleh perusahaan asuransi.

Vera menyoroti peran OJK sebagai lembaga pengawas serta regulator yang sebenarnya memiliki kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan nasabah unitlink yang terjadi belakang ini.

"Kami berharap penyelesaian segera mungkin, kiranya OJK bisa melakukan mediasi terhadap laporan nasabah dengan para asuransi. Mereka ingin dana dikembalikan kepada pemegang polis," ujar Vera dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.

Ia meyakini permasalahan nasabah unitlink bisa diatasi dengan identifikasi nasabah yang tepat serta mediasi dari OJK dan perusahaan asuransi.

Dengan demikian, permintaan nasabah dapat dipenuhi, serta dana pemegang polis dikembalikan sesuai dengan kesepakatan awal.

"Jadi, kita juga harus hati-hati dalam melakukan penyerapan informasi pengaduan masyarakat yang masuk," kata Vera.

Dibalik masih tingginya permintaan produk unitlink di pasar asuransi, tidak terlepas dari peran para agen asuransi. Namun, masih ada saja agen yang nakal.

Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat, dari sebanyak 600 ribu agen asuransi jiwa yang memiliki lisensi, sekitar 200 agen dilaporkan bermasalah.

Jumlah agen bermasalah tersebut dilaporkan oleh perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan karena melanggar kode etik agen asuransi jiwa.

Sementara itu, OJK akan segera mengeluarkan dua ketentuan di bidang Industri Keuangan NonBank (IKNB) yaitu peraturan mengenai Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI atau unitlink) dan perubahan peraturan mengenai layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (fintech peer to peer lending).

"Kedua peraturan itu akan dikeluarkan mengingat pentingnya penguatan operasional industri perasuransian dan fintech P2P lending yang harus diiringi dengan peningkatan aspek perlindungan konsumen," kata Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi.

Menurut Riswinandi, penyempurnaan aturan PAYDI antara lain meliputi area spesifikasi produk, persyaratan perusahaan untuk dapat menjual PAYDI, praktik pemasaran, transparansi produk dan pengelolaan investasi.

"Upaya penguatan regulasi tersebut bertujuan agar permasalahan pemasaran khususnya ketidakpahaman nasabah atas PAYDI dapat diminimalisir dan perusahaan asuransi dapat meningkatkan tata kelola dan manajemen risiko dengan lebih baik," ujar Riswinandi.

Sedangkan perubahan ketentuan fintech P2P lending antara lain mengatur kepemilikan platform layanan pendanaan bersama, bentuk badan hukum, modal pendirian, nilai ekuitas, batas maksimum pendanaan, pemegang saham pengendali dan sejumlah larangan untuk perlindungan konsumen seperti tata cara penagihan.

"Perubahan ketentuan layanan pendanaan bersama ini ditujukan untuk memperkuat industri fintech P2P lending dari sisi kelembagaan dan layanan terhadap konsumen serta kontribusinya bagi perekonomian," kata Riswinandi.

Riswinandi juga menjelaskan dalam perumusan aturan yang baru tersebut sudah melibatkan pelaku industri dan pemangku kepentingan termasuk akademisi, sehingga diharapkan begitu ketentuannya diundangkan maka bisa segera diimplementasikan.
Baca juga: OJK Jawa Barat terima 1.729 pengaduan masyarakat selama 2021
Baca juga: Banyak aduan, OJK segera luncurkan aturan baru soal unit link
Baca juga: OJK: Piutang pembiayaan multifinance terkontraksi 1,5 persen

 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2022