Jakarta (ANTARA News) - Produsen kemasan plastik di dalam negeri yang tergabung dalam Gabungan Industri Aneka Tenun Plastik Indonesia (GIATPI) minta agar pemerintah mengatur kembali Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.

"Kami keberatan apabila pasal yang menyebutkan kewajiban bagi produsen untuk mengolah sampah yang dihasilkan jadi direalisasikan," kata Ketua umum GIATPI Totok Wibowo saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Totok menolak seandainya anggota GIATPI dianggap selama ini memproduksi sampah mengingat sampah tersebut sebenarnya dihasilkan dari masyarakat setelah mempergunakan produk kemasan.

Dia minta agar pemerintah memperbaiki dulu pasal-pasal dalam undang-undang sebelum menerapkannya dalam peraturan pemerintah mengingat pelaksanaannya akan sangat sulit diterapkan.

Totok mengatakan, tidak ada negara di manapun yang membebankan kepada produsen kemasan terhadap dampak sampah yang dihasilkan, kewajiban justru harus dilakukan pemerintah dengan memfasilitasi peralatan daur ulang.

Totok menjelaskan, pemerintah harus terlibat dalam pengadaan peralatan tersebut apabila ternyata produksi plastik kemasan tersebut tidak mampu memenuhi skala ekonomi yang diharapkan.

Pemerintah dapat mengambil dari pungutan pajak dari industri kemasan yang nilainya untuk produk plastik lembaran sendiri mencapai Rp1,2 triliun, belum termasuk dari produsen air kemasan dan sebagainya.

Menurut Totok, teknologi daur ulang saat ini memungkinkan plastik dalam kemasan dapat dijadikan produk plastik lain yang juga bermanfaat seperti ember, pot bunga, dan sebagainya.

Totok mengatakan, produsen tidak dapat dibebankan untuk melakukan hal tersebut mengingat sangat sulit untuk mengumpulkan sampah yang sudah dihasilkan dari masyarakat, yang memilik kemampuan tersebut hanyalah pemerintah.

Menurutnya, saat ini memang ada plastik yang dapat hancur dengan sendirinya tetapi tidak dapat dipakai untuk kemasan karena membutuhkan kualitas yang kuat agar tidak bocor.

Saat ini baru produsen botol plastik dan minuman yang memiliki peralatan daur ulang untuk mengolah 90 persen sampah yang dihasilkan sehingga masuk dalam skala ekonomi, jelas Totok.

Namun bagi plastik yang belum memenuhi skala ekonomi, maka pemerintah harus memberikan fasilitas di dalamnya, ujar dia.

Totok mengatakan, pasal 14, 15, dan 16 menjadi keberatan produsen. Seperti pada pasal 14 disebutkan, seluruh produsen (consumer good, makanan & minuman, peralatan rumah tangga, karung, kemasan, susu dan berbagai produk lainnya) diwajibkan untuk mengelola sampah produknya.

Kemudian pasal selanjutnya, apabila tidak mampu, maka akan ditunjuk Badan Pengelola yang mendapat sertifikasi dari Kemenneg Lingkungan Hidup untuk selanjutnya mengelola sampah tersebut.

Butir terakhir menyebutkan apabila peraturan tidak ditaati, maka produsen akan dikenakan sanksi pidana dan denda.

Ketentuan dalam pasal tersebut sangat sulit untuk diterapkan, mengingat secara teknis sungguh sulit bagi produsen untuk mengumpulkan sampah di seluruh kota besar di Indonesia, yang sebagian besar merupakan sampah rumah tangga, ujar dia.

Menurut Totok, apabila RPP yang saat ini tengah berada di Sekretariat Negara itu akhirnya diterbitkan, dampak langsung yang akan terlihat adalah kenaikan harga produk. Hal itu karena produsen akan mengalokasikan sebagian dari harga produknya untuk disetor ke perusahaan pengelola sampah yang ditunjuk pemerintah.

Kenaikan harga produk, tentunya akan berdampak pada kenaikan inflasi dan berujung pada meningkatkanya beban masyarakat. Untuk itu, pemerintah harus duduk satu meja dengan produsen dalam membahas secara detil RPP Pengelolaan Sampah, sebelum aturan hukum tersebut disahkan dan diterbitkan, jelas dia. (G001/A026/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011