Pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umu
Pekanbaru (ANTARA News) - Kekerasan atas nama agama beberapa tahun terakhir kerap "mewarnai" berbagai sisi kehidupan masyarakat di tanah air, hal ini bisa diredam dengan upaya persatuan umat melalui pendidikan multikultural.

Kalimat tersebut disampaikan pemerhati multikultural dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Dr Phil H Muhammad Nur Kholis Setiawan usai menghadiri dialog pengembangan wawasan multikultural antar-umat beragama bagi para pemimpin agama, pemuda dan mahasiswa lintas agama bersama Kantor Wilayah Kementrian Agama (Kemenag) Riau, di Pekanbaru, Rabu (25/1).

Menurut ahli agama ini, praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, sebelumnya sempat marak di tanah air.

Berkaitan dengan hal ini, ujarnya, pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, serta lain sebagainya.

Namun, kata dia, yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru, pemuka agama dan pemuka masyarakat adat budaya yang tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan serta memberikan pencerahan.

"Lebih dari itu, seorang pendidik atau penyegar juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa," tuturnya.

Seperti `out-put`nya, kata Nur Kholis, sebaiknya juga tidak hanya penyesuaian dengan disiplin ilmu yang ditekuni, namun juga diharapkan para pendidik mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.

Lain daripada itu, lanjutnya, pendidikan multikultural juga dapat diterapkan diluar pendidikan formal, seperti mengadakan acara dialog bersama masyarakat lintas agama dan lain sebagainya.

"Jika cara ini dilakukan dan disikapi dengan baik oleh berbagai pihak, baik pemerintah dan masyarakat, pasti akan menciptakan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air," ujarnya.


Perbaikan Akhlak

Selain itu juga, menurut Nur Kholis, pendidikan multikultural juga mampu memulihkan atau memperbaiki sisi akhlak manusia.

Sepatutnya juga diketahui, demikian Kholis, bahwa keragaman umat dalam beragama, ras dan kebudayaan diakui atau tidak, dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain.

"Kondisi demikian adalah wujud nyata sebagai bagian dari multikultural apabila kita tidak bisa menyikapi dengan baik dan dewasa," tuturnya.

Nah, menurut Kholis lagi, berkaitan dengan hal tersebut, maka pendidikan multikultural tentunya akan sangat penting sebagai alternatif guna meredam berbagai kekacauan atau konflik yang erat kaitannya dengan akhlak manusia.

Melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, lanjutnya lagi, maka secara sadar semua pihak masyarakat akan mencintai satu sama lainnya tanpa harus mempertimbangkan sebuah perbedaan yang nyata.

"Intinya, anggap sebuah perbedaan itu adalah sebuah keindahan, sehingga kita bisa saling menjaga satu sama lainnya tanpa harus menyinggung keindahan itu sendiri," demikian Nur Kholis.

(KR-FZR)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012