Pusat Ekonomi Kreatif nantinya akan menjadi ruang ekonomi kerakyatan yang terpadu dan menekan rentenirBandung (ANTARA News) - Kota Bandung akan membangun Pusat Ekonomi Kreatif di kawasan Ujungberung sebagai upaya untuk mendorong penciptaan lapangan pekerjaan baru dan peningkatan nilai tambah produk kreatif Kota Bandung.
"Pusat Ekonomi Kreatif nantinya akan menjadi ruang ekonomi kerakyatan yang terpadu dan menekan rentenir," kata Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda di Bandung, Minggu.
Pusat ekonomi kratif itu, kata Ayi, sebagai bentuk menciptakan lapangan pekerjaan khususnya bagi para pelaku usaha kreatif yang selama ini terpencar di Kota Bandung.
Melalui sentra ekonomi kreatif itu, para pelaku usaha kreatif didorong untuk membentuk sebuah komunitas yang bisa meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk-produk mereka.
"Bandung merupakan kota kreatif, sebagian sudah eksis dan bisa menciptakan pasar, namun sebagian masih perlu difasilitasi," kata Ayi.
Pembagunan fasilitas sentra ekonomi kreatif di kawasan Ujungberung itu juga akan diikuti dengan pengembangan infrastruktur pendukungnya yang sejalan dengan pengembangan kawasan Kota Bandung bagian timur.
Pengembangan kawasan Kota Bandung saat ini tinggal menyisakan kawasan timur, setelah kawasan barat dipastikan telah tertutup untuk pengembanan kawasan ekonomi itu karena sudah cukup padat.
Selain itu, Kota Bandung juga komitmen untuk melakukan pembenahan pedagang kaki lima (PKL) melui prgram P3SER di Gedebage sebagai bentuk revitalisasi pasar tradisional.
Pewarta: Syarif Abdullah
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013
Pembangunan ekonomi kreatif sebagaimana pembangunan ekonomi pada umumnya harus berkelanjutan, bukan pembangunan yang kemudian berisiko terbengkalai.
Sangat sulit membangun ekonomi kreatif, karena pembangunan ekonomi kreatif bukan membangun gedung atau pusat, meskipun gedung memang dibutuhkan.
Prasyarat pembangunan ekonomi kreatif adalah orang-orang kreatif dan orang-orang yang mau membaktikan diri dalam memajukannya. Jadi, bangun sdm nya terlebih dahulu, jangan gedungnya. Untuk memenuhi kebutuhan gedung mah berdayakan weh gedung-gedung kesenian dan budaya nu aya (Rumentang Siang, Sunan Ambu, Dekranasda, dsb,) sehinga efektifitas dan efisiensinya langsung terasa.
Pusat ekonomi kreatif dalam arti sesungguhnya sebagai contoh terbaik adalah Greenwich Village di downtown New York disebut-sebut sebagai Surga Seniman (Tapi, DPRD Kota Bandung jangan lantas kemudian piknik studi banding ke New York. Pelajari dari Bandung saja, baca literaturnya atau pesan film dokumenter kepada Discovery Channel/NatGeo/History. Undang para tokoh the Village datang ke Bandung untuk membantu pembangunan ekonomi kreatif di Bandung.)
Pusat ekonomi kreatif harus di perkotaan, tidak bisa di pesisian, karena tidak mungkin membangun ekonomi kreatif bernafaskan religius, ekonomi kreatif membutuhkan kehidupan hedon yang terlepas dari kungkungan religi, apalagi kalau ada dominasi satu religi, ekonomi kreatif dapat dipastikan tidak akan berkembang, namanya juga ekonomi kreatif, batasnya adalah kreativitas, bukan ketaatan (Bali bisa begitu karena di sana kehidupan hedon tidak dilarang. Hedonisme identik dengan kehidupan malam, minuman beralkohol, one night stand, dsb.)
Kalau di perkotaan, masyarakat akan lebih toleran terhadap hedonisme, tapi kalau di pesisian seperti di Ujung Berung, akan terjadi kegoncangan budaya terhadap masyarakat setempat, karena masyarakat pesisian biasanya kental dengan kehidupan religius.
Mulai dari proyek kecil terlebih dahulu.
Kebutuhan para seniman yang sangat mendesak adalah penataan, kantor, manajemen, administrasi, marketing, business insight. Banyak seniman, para seniman grafis misalnya, tidak memiliki kantor, sediakan kantor untuk digunakan bersama oleh para pekerja kreatif. Setelah karya-karya mereka terbukti berhasil (laku dijual), nanti mereka akan beli gedung sendiri.
Pembangunan ekonomi kreatif sebagaimana pembangunan ekonomi pada umumnya harus berkelanjutan, bukan pembangunan yang kemudian berisiko terbengkalai.
Sangat sulit membangun ekonomi kreatif, karena pembangunan ekonomi kreatif bukan membangun gedung atau pusat, meskipun gedung memang dibutuhkan.
Prasyarat pembangunan ekonomi kreatif adalah orang-orang kreatif dan orang-orang yang mau membaktikan diri dalam memajukannya. Jadi, bangun sdm nya terlebih dahulu, jangan gedungnya. Untuk memenuhi kebutuhan gedung mah berdayakan weh gedung-gedung kesenian dan budaya nu aya (Rumentang Siang, Sunan Ambu, Dekranasda, dsb,) sehinga efektifitas dan efisiensinya langsung terasa.
Pusat ekonomi kreatif dalam arti sesungguhnya sebagai contoh terbaik adalah Greenwich Village di downtown New York disebut-sebut sebagai Surga Seniman (Tapi, DPRD Kota Bandung jangan lantas kemudian piknik studi banding ke New York. Pelajari dari Bandung saja, baca literaturnya atau pesan film dokumenter kepada Discovery Channel/NatGeo/History. Undang para tokoh the Village datang ke Bandung untuk membantu pembangunan ekonomi kreatif di Bandung.)
Pusat ekonomi kreatif harus di perkotaan, tidak bisa di pesisian, karena tidak mungkin membangun ekonomi kreatif bernafaskan religius, ekonomi kreatif membutuhkan kehidupan hedon yang terlepas dari kungkungan religi, apalagi kalau ada dominasi satu religi, ekonomi kreatif dapat dipastikan tidak akan berkembang, namanya juga ekonomi kreatif, batasnya adalah kreativitas, bukan ketaatan (Bali bisa begitu karena di sana kehidupan hedon tidak dilarang. Hedonisme identik dengan kehidupan malam, minuman beralkohol, one night stand, dsb.)
Kalau di perkotaan, masyarakat akan lebih toleran terhadap hedonisme, tapi kalau di pesisian seperti di Ujung Berung, akan terjadi kegoncangan budaya terhadap masyarakat setempat, karena masyarakat pesisian biasanya kental dengan kehidupan religius.
Mulai dari proyek kecil terlebih dahulu.
Kebutuhan para seniman yang sangat mendesak adalah penataan, kantor, manajemen, administrasi, marketing, business insight. Banyak seniman, para seniman grafis misalnya, tidak memiliki kantor, sediakan kantor untuk digunakan bersama oleh para pekerja kreatif. Setelah karya-karya mereka terbukti berhasil (laku dijual), nanti mereka akan beli gedung sendiri.