menundukkan pemakaian bahasa pers di depan hegemoni legalistik agaknya berlebihan dan melawan kodratnya sebagai bahasa yang harus hemat, padat, ringkas, lugas, dan jelas"
Jakarta (ANTARA News) - Selalu ada pertarungan paradigma berbahasa pers di ruang-ruang redaksi. Artinya, selalu ada debat seru antara mereka yang berjuang membebaskan diri dari kepatuhan legalistik ketika menggunakan bahasa sebagai ekspresi verbal media massa dan mereka yang menundukkan diri pada hegemoni legalistik dalam berbahasa jurnalistik.

Pihak pertama berpandangan bahwa bahasa pers adalah satu entitas khusus yang punya pakem-pakemnya sendiri. Pakem itu antara lain dalam bentuk bahasa pers yang efisien dan efektif. Artinya, bahasa pers adalah bahasa yang hemat ekonomis tapi jelas dan lugas.

Pihak kedua berpendapat bahwa bahasa jurnalistik harus tetap mengikuti kaidah-kaidah kebahasaan yang ditetapkan oleh ahli yang dikemas dalam aturan pemerintah dalam bentuk ejaan yang baku alias standar. Tanpa kepatuhan ini, bahasa pers akan menjadi liar, tak terkendali dan, konon, bisa membuat semangat kesatuan dan persatuan bangsa menjadi retak alias terancam.

Dalam bentuknya yang paling aktual, pertarungan paradigma itu mengejahwanta dalam bentuk polemik penggunaan predikat "calon" atau "bakal calon" presiden terkait dengan pemilihan presiden pada tahun politik ini.

Argumen legalistik meyakini bahwa predikat calon presiden tak bisa dikenakan pada sang kontestan pilpres selama Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum memberikan keputusan resmi atas penetapan yang bersangkutan untuk maju dalam kontestasi itu.

Argumen tandingannya mendedahkan bahwa tak perlulah menunggu keputusan resmi KPU untuk memberikan label calon pada kontestan pilpres. Yang penting begitu parpol pengusung sudah meyakini bahwa calon yang diajukan sudah disampaikan ke masyarakat, saat itu juga dia berhak menyandang predikat calon.

Polemik calon dan bakal calon itu tak ayal membuat banyak media massa secara tak ajek berubah-ubah dalam penyebutan gelar calon dan bakal calon. Tak perlu mencari siapa yang paling benar di antara dua opsi itu.

Dalam praktik bahasa pers, konsistensi atau taat asas lebih dipentingkan. Sebab, persoalan pemakaian bahasa adalah persoalan konvensi alias kesepakatan. Yang disepakati hari ini, oleh generasi masa kini, bisa saja ditinggalkan oleh generasi mendatang.

Menundukkan pemakaian bahasa pada hegemoni legalistik akan menyebabkan banyak kesulitan atau rasa kikuk di antara awak pers.  Mari perhatikan logika legalistik dalam berbahasa jurnalistik berikut ini.

Dalam satu kesempatan diskusi tentang kebahasaan di Forum Bahasa Media Massa, seorang pembicara mengatakan: semua pengguna bahasa pers mestinya mengikuti apa yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Kepatuhan pada KBBI adalah kepatuhan legalistik sebab KBBI disusun oleh Pusat Bahasa, yang kepalanya diangkat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang dipilih oleh Presiden, yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.

Jadi mengikuti KBBI adalah mengikuti kehendak rakyat Indonesia. Jelas ada yang salah dalam rangkaian logika seperti itu. Sebab, alva omega isi KBBI tidaklah seperti UU yang keputusannya diambil oleh wakil-wakil rakyat dan direstui presiden. KBBI adalah produk keilmuan yang tidak mengikat dan dilanggar pun tidak berakibat sanksi hukum.

Contoh paling jelas adalah pengabaian atas banyak ejaan yang dimuat KBBI oleh awak media massa. KBBI menulis "salat" dan "ramadan", tapi banyak media massa yang ogah mengikutinya dan memilih ejaan yang anti-terhadap prinsip kehematan berbahasa pers dengan menyematkan huruf "h" pada dua lema itu sehingga menjadi "shalat" dan "ramadhan".

Para penganjur hegemoni legalistik dalam penerapan bahasa pers juga ketat dalam mewacanakan aspek-aspek yang tak terlalu substansial bagi jurnalisme masa kini seperti keharusan menggunakan titik di setiap gelar di depan nama narasumber dan kalau narasumber itu bergelar sarjana hukum maka singkatan gelar itu yakni SH harus diberi tanda koma setelah nama sang narasumber. Jika tidak diberi koma, salah-salah SH dianggap singkatan atas kepanjangan nama, misalnya, Syarif Hidayat.

Para penentang paradigma legalistik itu mengajukan argumen bahwa dalam jurnalistik tak perlulah embel-embel SH itu disebutkan. Kalau toh disebutkan, tak perlulah diberi tanda koma karena dalam konteks wacana berita, sinyal bahwa SH itu bukanlah Syarif Hidayat tapi Sarjana Hukum bisa dicuatkan.

Pemberian tanda titik pada gelar-gelar yang dipasang sebelum nama narasumber juga bisa diabaikan, demikian pendapat dari penentang hegemoni legalistik.

Penghilangan tanda titik itu tak akan mengubah makna malah menambah keekonomian berbahasa pers. Dan lebih-lebih lagi, gelar-gelar akademis seperti profesor dan doktor, apalagi doktorandus, sudah sering tak disebut dalam teras maupun tubuh berita.

Bahasa pers agaknya harus dibedakan dengan bahasa baku yang formal.

Bahasa pers itu semi formal, yang mengutamakan sisi kehematan tanpa mengorbankan kejelasan makna.

Bahasa pers bukanlah bahasa yang dipakai para ahli hukum dalam menuliskan kontrak hukum atau bukan juga bahasa yang digunakan kaum akademisi dalam menyampaikan hasil temuan ilmiah mereka dalam bentuk laporan penelitian atau disertasi.

Itu sebabnya menundukkan pemakaian bahasa pers di depan hegemoni legalistik agaknya berlebihan dan melawan kodratnya sebagai bahasa yang harus hemat, padat, ringkas, lugas, dan jelas.

Oleh M Sunyoto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014