Jakarta (ANTARA News) – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menekankan signifikansinya guru agama diberi wawasan inklusif, terutama menyangkut pandangan tentang adanya keragaman beragama yang dianut bangsa Indonesia.

“Selama ini minim sekali mereka (guru agama) mendapatkan masukan terkait dengan bagaimana agama itu lebih ditonjolkan sisi-sisi substantifnya, esensinya, bukan hanya ritual formal keagamaannya saja. Karena kalau ritual formal masing-masing agama itu kan berbeda,” ujar Menag LHS dalam wawancara dengan Pinmas terkait sejumlah persoalan dan isu selama 100 hari kerja kabinet kerja beberapa waktu lalu.

Tapi yang juga tidak kalah pentingnya, ujar Menag,  adalah bagaimana setiap guru agama berkemampuan untuk mentransformasikan pengetahuan ke peserta didiknya terkait hal-hal yang substantif, esensial dari agama, yaitu memanusiakan manusia, yang jadi hakikat dari agama itu.

Ia mengutarakan, kalau mengajarkan, misalnya menyampaikan tauhid bahwa Tuhan itu Esa, maka tidak hanya sekedar doktriner atau sesuatu yang indoktrinasi bahwa Tuhan itu Esa. Tapi harus bisa dijelaskan bahwa ke-Esaan Tuhan itu adalah wujud bahwa manusia itu memiliki keterbatasan, karena dia lalu mengakui ada sesuatu yang di luar dirinya yang Tunggal dan menguasai itu.

“Dengan cara seperti itu, karena masing-masing kita terbatas, maka tidak boleh di antara kita merasa paling benar,” kata Menag.

Ia melanjutkan, yang tidak terbatas itu adalah yang Maha Esa itu yang tanpa batas. Sementara di luar yang maha Esa itu semuanya memiliki keterbatasan.  Karena kita sesama manusia memiliki keterbatasan, maka tidak pada tempatnya kalau kita sebagai manusia mengklaim diri yang paling benar. 

“Dengan sikap demikian, maka kemudian toleransi dan tenggang rasa itu dibangun. Sehingga kemudian pada masing-masing kita, karena memahami keterbatasannya bisa saling menghargai dan menghormati,” ujar Menag memberi ilustrasi.

Menjawab pertanyaan tentang adanya arus “penolakan” terhadap salah satu ketentuan UU Sisdiknas di mana setiap sekolah harus menyediakan Guru Agama saat akan ditetapkan sebagai UU pada waktu itu. Menag menegaskan, bahwa UU tersebut sebenarnya ingin memberikan jaminan kepada setiap warga negara, khususnya yang masih menjadi siswa, untuk mendapatkan pendidikan agama.

Prinsipnya, tegas Menag, setiap peserta didik tanpa terkecuali berhak untuk mendapatkan pendidikan, dan negara wajib memberikan pendidikan. Pendidikan di sini termasuk pendidikan agama. Sehingga setiap lembaga pendidikan itu berkewajiban memberikan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa itu.

“Itu kewajiban, UU memerintahkan seperti itu. Jadi kalau ada siswa beragama A maka dia wajib mendapatkan pendidikan agama A, tidak boleh agama B atau C. Dan guru yang mengajarkan pendidikan agama itu harus seagama dengan agama yang diajarkan. Jadi tidak bisa saya agama Islam, saya mengajarkan Kristen. Atau orang Kristen mengajarkan agama Hindu. Itu tidak bisa,” kata Menag.

Menag mengatakan, itu semua diatur dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 20013 untuk memberikan jaminan bahwa tidak hanya anak yang usia belajar ini bisa mendapatkan pendidikan agama, tapi juga jaminan bahwa pendidikan agama yang diberikan yang diterima oleh anak itu adalah pendidikan agama yang benar karena diberikan oleh guru yang seiman.

“Karenanya, setiap lembaga pendidikan harus konsekuen dengan amanah UU itu,” terang Menag.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015