Indonesia itu negara berdaulat. Kita sudah punya aturan tersendiri terkait budidaya kelapa sawit berkelanjutan yaitu ISPO (Indonesia Sustainability Palm Oil),"
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Pertanian (Kementan) meminta manajemen The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) menghormati aturan yang ada di Indonesia dan tidak membuat aturan sendiri untuk diterapkan di wilayah hukum Indonesia.

"Indonesia itu negara berdaulat. Kita sudah punya aturan tersendiri terkait budidaya kelapa sawit berkelanjutan yaitu ISPO (Indonesia Sustainability Palm Oil)," ujar Staf Ahli Menteri Pertanian (Mentan) bidang Lingkungan, Mukti Sardjono di Jakarta, Minggu.

ISPO, menurut dia, merupakan aturan resmi yang dibuat pemerintah Indonesia dan wajib dilaksanakan semua pelaku usaha kelapa sawit di tanah air, oleh karena itu, semua pelaku usaha hendaknya mengacu kepada standar tersebut dalam melaksanakan praktik usaha kelapa sawit berkelanjutan.

"Mereka harus taat, jangan buat aturan main sendiri," kata mantan Sekretasis Direktorat Jenderal Perkebunan itu.

Apalagi, lanjut Mukti, pasca lima perusahaan besar (The Big Five Company, yakni yakni Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri, dan Asian Agri) menandatangani kesepakatan sustainability ala IPOP, langsung berdampak buruk bagi para petani seperti tandan buah segar (TBS) petani sulit dipasarkan.

Pada Kamis (10/9) pekan lalu, manajemen IPOP mendatangi Kementan untuk menjelaskan program sustainability budidaya kelapa sawit. Mereka diterima Staf Ahli Mentan, Mukti Sarjono karena Menteri Pertanian Amran Sulaiman sedang melakukan kunjungan kerja ke Filipina.

"Hari Senin besok, akan saya laporkan ke Pak Menteri terkait hasil pertemuan itu," kata Mukti.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad mendesak pemerintah agar memanggil perusahaan besar yang telah menandatangani kesepakatan IPOP tersebut untuk mencari solusi.

"Sebab ini dampaknya sudah luar biasa. TBS petani di Aceh dan Padang Lawas (Sumatera Utara) tidak bisa masuk Wilmar lagi," katanya.

Menurut Asmar, karena tidak terserap di perusahaan besar tersebut, maka TBS petani itu dijual ke pabrik kelapa sawit (PKS) kecil untuk pasar lokal, namun TBS tersebut dihargai sangat murah.

Oleh karena itu, kata dia, pemerintah harus tegas terhadap manajemen IPOP, karena The Big Five Company yang menandatangani kesepakatan IPOP itu ditekan asing, sehingga mereka tidak mau lagi membeli TBS petani.

Asmar mengusulkan kepada pemerintah agar mempercepat penerapan B-30, agar penyerapan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam negeri bisa lebih banyak, sehingga tidak tergantung pasar ekspor lagi.

Senior Head Corporate Finance and Government Relation PT Sawit Sumbermas Sarana (SSS), Sunggu Situmorang mengungkapkan dampak buruk penerapan IPOP tidak hanya dirasakan petani saja, namun perusahaan seperti SSS yang memiliki kebun sawit di Kalteng itu.

Sebagai perusahaan yang sedang berkembang, SSS melalui anak usahanya melakukan ekspansi penanaman kelapa sawit di lahan yang dimilikinya, namun kegiatan tersebut dinyatakan melanggar aturan IPOP.

Akibatnya, lanjutnya, semua CPO yang dihasilkan SSS ditolak masuk ke The Big Five Company.

"Padahal tidak ada satupun aturan pemerintah yang kami langgar. Pembukaan lahan kami telah sesuai prosedur," kata Sunggu.

Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah harus tegas terhadap manajemen IPOP, aturan IPOP harusnya tidak boleh diterapkan di Indonesia, karena tidak sesuai dengan aturan yang sudah berlaku di Indonesia.

Pewarta: Subagyo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015