Jakarta (ANTARA News) - Koordinator Gili Eco Trust Delphine Robbe mengatakan pengurangan sampah plastik bisa dilakukan dengan mengganti model kemasan dengan material yang bisa didaur ulang.

Delphine menilai pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengontrol perusahaan lewat kebijakan.

"Pemerintah yang kontrol dengan mendorong perusahaan mengganti kemasan dari produknya. Ganti kemasan plastik dengan kertas daur ulang," kata Delphine dalam acara diskusi "Selamatkan Laut Kita Dari Sampah", di Jakarta, Rabu.

Menurut Delphine, pemerintah bisa membuat kebijakan lewat pajak atau sanksi. Perusahaan yang tidak membuat kemasan dari bahan daur ulang, lanjutnya, bisa diberi sanksi atau dikenakan pajak yang lebih tinggi.

"Jika perusahaan tidak memakai kemasan daur ulang kenakan pajak yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang pakai kemasan daur ulang," ujarnya.

Ia mengatakan program pengurangan sampah yang dibuat pemerintah selama ini hanya menyasar keterlibatan masyarakat. Hal tersebut, kata perempuan asal Prancis itu tidak akan menyelesaikan persoalan sampah plastik.

"Kalau kemasan tidak ada perubahan dari perusahaan yang buat, akan masih banyak sampah plastik yang belum diolah," katanya.

"Minimarket juga didorong berhenti kasih tas plastik," tambahnya.

Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok dengan jumlah sampah plastik yang masuk ke laut sebanyak 1,29 juta ton berdasarkan penelitian University of Georgia tahun 2010.

Dari penelitian tersebut, sampah plastik diperkirakan mencapai 250 juta ton pada tahun 2025 dengan delapan juta ton sampah plastik yang terbuang setiap tahun.

"Perbandingannya tiga ton ikan di lautan ada satu ton plastik," ujar Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert O Blake.

Pewarta: Monalisa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015