Jakarta (ANTARA News) - Iman Budiman senang jumlah murid SMPN 4 Cibeber naik dari tahun ke tahun. Pada 2000 ketika SMP yang berada di Kabupaten Cianjur di Jawa Barat ini baru didirikan, murid-murid yang bersekolah di SMP ini hanya bisa ditampung dalam dua kelas.

"Tapi sekolah kami kini punya 23 kelas," kata wakil kepala sekolah bidang kurikulum pada SMP yang berdiri sejak 17 tahun lalu di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur ini.

Wajib Belajar 12 Tahun telah menularkan efek positif terhadap kesadaran berpendidikan masyarakat di daerah ini. Selain itu ada pesan besar bahwa masyarakat, khususnya di Cibeber, telah didekatkan kepada akses-akses pendidikan sehingga kesadaran pendidikan dan bahkan kualitas manusia cenderung meningkat, sebaliknya angka putus sekolah turun.  Sekitar 20 tahun lalu, di kecamatan ini hanya ada satu SMP negeri, tapi kini sudah ada enam SMP negeri.

"Sejak bertahun-tahun lalu di daerah kami sudah tidak ada lagi murid SD yang tidak melanjutkan sekolah. Semua sekolah. Dan setelah SMP para orang tua berlomba mendorong anak mereka bersekolah lebih tinggi lagi," kata Iman seraya menunjuk fakta sekitar 60 persen lulusan sekolahnya meneruskan sekolah ke SMA atau SMK, padahal Wajib Belajar 12 Tahun sampai SMA belum lazim di sini.

Jangan bandingkan dengan sekolah-sekolah mentereng di Bandung, Jakarta, atau kota-kota besar lainnya, bahkan dengan Kota Cianjur sendiri.  Namun fakta adanya semangat dan gairah masyarakat di kecamatan ini untuk mendorong anak-anak mereka ke sekolah adalah realita yang mencerahkan.

SMPN 4 Cibeber menjadi salah satu potret mengenai positifnya pencapaian pendidikan nasional yang telah mempersingkat akses penduduk kepada pendidikan sehingga salah satunya berbuah kepada terus menurunnya angka putus sekolah.

Fakta itu diakui oleh badan PBB untuk pendidikan, UNESCO, yang tahun lalu menerbitkan laporan Pemantauan Pendidikan Global atau GEM mengenai kenaikan signifikan partisipasi sekolah sehingga sistem pendidikan Indonesia terbilang berhasil.

"Angka partisipasi kasar SD dan SMP sejak tahun 2000 tetap di atas 100 persen, khususnya untuk daerah terpencil," kata Staf Ahli Menteri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Ananto Kusuma Seta saat meluncurkan Laporan GEM 2016 pada 6 September 2016.

Kualitas pendidik

Dari Laporan GEM itu juga terlihat angka putus sekolah dasar turun dari 2,62 persen pada 2000 menjadi hanya 0,26 persen pada 2015, sedangkan angka literasi usia 15-24 tahun naik dari 98,7 persen menjadi 99,7 persen dalam satu dekade sejak 2005. Sayang, angka nasional untuk kelulusan SMA baru 76 persen.

"Ini pekerjaan rumah untuk kita semua. Salah satu target Nawa Cita yang disusun pemerintahan Pak Jokowi diarahkan untuk peningkatan pada bidang ini, yaitu wajib belajar 12 tahun dan Program Indonesia Pintar," kata Ananto.

Presiden Joko Widodo sendiri bertekad keras mengurangi angka putus sekolah di Indonesia. "Kita ingin anak-anak ini semuanya jangan sampai ada yang tidak sekolah," ujar Jokowi setelah membagikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) di Sleman, Yogyakarta, Februari tahun ini.

Jokowi rajin keliling sekolah di Indonesia untuk memastikan distribusi KPI bisa semasif dia inginkan, selain sebagai simbol tekad keras dia mendorong pendidikan yang bisa dinikmati siapa pun yang akhirnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia nasional.

Upaya ini penting karena erat kaitannya dengan bagaimana Indonesia harus memenangi persaingan global.  "Saya kira ke sana, baru beberapa sekolah diarahkan untuk sisi perbaikan kualitas," kata Jokowi.

Menyangkut kualitas pendidikan ini, bahkan seorang guru di daerah yang jauh dari pusat kota seperti Iman Budiman, punya kritik reflektif bahwa bangsa ini membutuhkan guru-guru yang terus belajar dan meningkatkan pemahaman serta keterampilan mendidik sehingga pendidikan menghasilkan output berkualitas tinggi yang menekankan pada kemampuan kognitif atau nalar yang memang menjadi salah satu kunci bagaimana negara-negara maju menguasai dunia.

"Yang punya tugas belajar dan menambah ilmu itu tidak hanya murid, tapi kami, para guru. Kami harus terus belajar, harus terus baca, rajin beli buku," kata Iman.

Pendidik berusia 47 tahun ini juga punya impian seperti didamba jutaan pendidik lainnya di Indonesia, yakni penyederhanaan materi ajar dalam kurikulum sehingga siswa lebih fokus belajar. Tetapi hal ini harus dibarengi dengan tuntutan kepada guru untuk mempertinggi keterampilan dan pengetahuan mengajar mereka, apalagi guru-guru sekarang harus mengajari generasi yang melek sekali dengan informasi.

Impian Iman dalam beberapa hal seirama dengan dorongan Jokowi kepada guru bahwa "Guru harus produktif, artinya guru yang bisa melatih."

Kenyataannya kualitas guru menjadi salah satu determinan pokok bagi keberhasilan pendidikan di negara-negara yang kini terdepan dalam pendidikan dan konstelasi global, baik ekonomi maupun politik, salah satunya China.

Pengalaman China

China sudah memiliki kesadaran sejak 1970-an bahwa reformasi pendidikan itu penting karena pendidikan adalah instrumen penting dalam membangun status global negara ini.

"Pendidikan harus menjawab modernisasi, dunia, dan masa depan. Kami harus bergeser dari bangsa dengan sumber daya manusia melimpah menjadi bangsa dengan sumber daya manusia yang kuat," kata mantan Deputi Direktur Jenderal Pendidikan Dasar China Wang Dinghua.

China pun memperluas pendidikan prasekolah dan wajib belajar demi menyamaratakan akses pendidikan yang lebih baik, meningkatkan kualitas pendidikan, serta mempertinggi pengukuran data dan evaluasi.

Salah satu cara yang ditempuh China dalam bingkai ini adalah merotasi guru-guru terbaik ke daerah-daerah terpencil sehingga daerah-daerah ini mencerap pengalaman pendidikan sama berkualitasnya dengan yang dirasakan kota-kota besar. China juga terus memperbarui kurikulum demi menjawab kebutuhan-kebutuhan dunia nyata.

Hasilnya, China menjadi memiliki banyak opsi untuk menggerakkan roda ekonominya karena sistem pendidikan telah menyediakan sumber daya manusia yang lebih baik yang memenuhi tuntutan zaman.

Akibat lebih jauh dari itu, mengutip World Economic Forum, beberapa tahun setelah reformasi 1978, China yang miskin pun sediakala berubah menjadi adidaya ekonomi dunia terbesar kedua setelah Amerika Serikat yang PDB-nya tumbuh hampir 10 persen setiap tahun dan per kapita naik 49 kali lipat dari 155 dolar AS pada 1978 menjadi 7.590 dolar AS pada 2014. China juga berhasil mengentaskan 800 juta penduduk dari jerat kemiskinan, angka yang amat fantastis.

Setelah pencapaian-pencapaian besar itu, sejak beberapa tahun lalu China menggeser fokus pendidikannya ke arah yang menekankan kualitas.  Di antara langkah yang ditempuh, meminjam laporan majalah Amerika Serikat The Atlantic, China mempertajam sistem ujian nasional dengan fokus memperluas keterampilan kognitif siswa dan menggeser pola belajar yang tak lagi menekankan dominasi guru, sehingga siswa dirangsang berpikir analitik, bukan hanya menghafal, bukan sekadar menjawab.

Alhasil, menurut Ye Liu dalam laman Conversation.com, sistem pendidikan China, khususnya pendidikan tingginya, menjadi mengundang minat global dan punya daya saing tinggi. Salah satunya di Shanghai.

Menurut Program for International Student Assessment pada 2009 dan 2012, pendidikan tinggi Shanghai memuncaki peringkat dunia dalam hal matematika dan sains. Bahkan untuk urusan matematika, para pelajar Shanghai melampaui pencapaian mahasiswa-mahasiswa negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang umumnya negara-negara maju dari Eropa Barat, Jepang, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru.

Semasif mungkin

Tentu saja karakter dan kebutuhan nasional suatu negara berbeda dengan negara lainnya, tetapi pendekatan China untuk beranjak dari menyamakan kesempatan belajar seluas mungkin menjadi menyamaratakan kualitas hasil pendidikan, adalah pola yang tak ada salahnya ditiru, walaupun pada beberapa hal, inisiatif seperti itu telah ditempuh oleh perorangan dan swasta Indonesia.

Indonesia memberlakukan Wajib Belajar 12 Tahun yang mewajibkan setiap warga negara Indonesia bersekolah selama 12 tahun atau sampai SMA, sejak Juni 2015.  

Dalam kerangka kini, di tengah kritik atas berbagai kekurangan pencapaian pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus mengupayakan ambisi ini melalui Program Indonesia Pintar (PIP).

"Kegiatan yang mengarah ke wajib belajar 12 tahun sudah ada ya sejauh ini, dan terus kita upayakan," kata Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran, Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Yudistira Wahyu Widiasana, seperti dikutip dari laman Kemdikbud (15/9/2016).

Memperluas kesempatan pendidikan adalah amat penting. Tetapi juga sangat penting memperluas pengalaman menikmati pendidikan berkualitas tinggi sehingga tidak hanya daerah-daerah perkotaan yang menikmatinya, melainkan dirasakan pula daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, termasuk daerah-daerah terpencil.

KIP, Program Indonesia Pintar, dan program Wajib Belajar 12 tahun mesti diterapkan semasif mungkin, namun menciptakan atmosfer belajar yang mendorong siswa dapat menikmati pengalaman pendidikan berkualitas tinggi seperti umum di kota-kota adalah juga kebutuhan dan keniscayaan, serta harus  semasif mungkin mengingat tuntutan dan tantangan global yang kencang memaksa bangsa Indonesia juga berlari kencang menyambut dan menjawabnya.

Jika memakai statistik UNESCO di atas, angka putus sekolah di Indonesia memang terus menurun. Tetapi kecenderungan ini semestinya bertransformasi kepada timbulnya tekad dan upaya menyempitkan kesenjangan kualitas hasil didik seperti didamba guru-guru di daerah yang jauh dari perkotaan tetapi memiliki mimpi besar yang melintasi sekat-sekat kedaerahan seperti dimiliki sang guru SMP Iman Budiman.

Ini penting demi menjawab tantangan global yang membutuhkan langkah bersama yang besar dan menyeluruh dari pusat sampai daerah bagi tersedianya sumber daya manusia yang bisa bersaing pada tingkat global.

Saat membagikan KIP di SMK Negeri 1 Tempel di Sleman, Yogyakarta, awal Februari lalu, Jokowi sendiri berharap semua anak memiliki akses pendidikan yang sama sehingga kualitas tenaga kerja nasional meningkat.

Dan jika stok tenaga kerja berkualitas menjadi berlimpah, maka tak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak siap bersaing di pentas global.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017