Jakarta (ANTARA News) - Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Puspa Dewy mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai mendiskriminasi buruh migran terutama perempuan pekerja rumah tangga.

"Konvensi Migran 90 yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 2012, belum terharmonisasi di dalam berbagai kebijakan secara utuh. Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah justru mendiskriminasi buruh migran terutama perempuan pekerja rumah tangga," ujar Puspa Dewy di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan upaya pemerintah untuk menyediakan perlindungan bagi perempuan buruh migran, khususnya pekerja rumah tangga belum mampu mengatasi akar pesoalan.

Bahkan beberapa kebijakan yang dibuat atas nama perlindungan cenderung diskriminatif. Pemberlakuan Roadmap Zero Domestic Workers yang diperkuat dengan Kepmen 260 Tahun 2015 menjadi bukti yang tidak terbantahkan.

Pasalnya, alih-alih menyediakan perlindungan bagi perempuan yang mencari pekerjaan dan kehidupan yang layak, kebijakan ini justru mendiskriminasi Pekerja Rumah Tangga Migran karena bersifat pelarangan atau pembatasan bagi pilihan perempuan untuk bekerja.

Hal ini jelas melanggar Konvensi Migran 90 dan Rekomendasi CEDAW No.26. Oleh karena itu, hak asasi buruh migran tidak akan terpenuhi apabilan masih terdapat kebijakan yang mendiskriminasi buruh migran.

"Bukti jika negara serius melindungi hak-hak perempuan buruh migran adalah dengan mencabut kebijakan dan menghentikan berbagai praktik diskriminatif terhadap perempuan buruh migran dan keluarganya," kata dia.

Tidak saja diskriminatif, pemberlakuan kebijakan itu nyatanya berdampak pada melonjaknya kasus-kasus perdagangan manusia (trafficking) perempuan buruh migran di Arab Saudi dan Negara timur tengah lainnya.

Data Solidaritas Perempuan (SP) dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menunjukkan lebih dari 263 kasus "trafficking" yang dilaporkan dengan modus penempatan unprosedural pascapemberlakuan Kepmen 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Pengiriman TKI pada Pengguna Perseorangan di Kawasan Timur Tengah.

"Sekali lagi, situasi menjadi bukti kuat dari ketidakefektifan kebijakan tersebut yang justru semakin merentankan perempuan buruh migran menjadi korban perdagangan orang," ujarnya.

Ia menambahkan bahwa perlu diakui, upaya pemerintah dalam mewujudkan perbaikan tata kelola migrasi terlihat dalam UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang baru disahkan pada Oktober 2017.

Pembagian tugas dan wewenang yang proporsional antara pemerintah pusat dan daerah, pengurangan peran swasta dalam system penempatan, pembentukan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), peralihan pengelolaan jaminan sosial dari swasta ke negara dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan menjadi isu penting yang diatur UU.

Menanggapi UU ini, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia Hariyanto mengingatkan bahwa pemerintah juga harus menjamin pendidikan gratis dan aksesnya yang mudah agar dapat dinikmati manfaatnya bagi buruh migran termasuk anak buruh migran.

"Ini penting agar buruh migran dan keluarganya memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan yang baik dalam mempertahankan maupun memperjuangkan hak-haknya," katanya.

Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017