... undang-undang perlindungan egenetika Jepang, yang berlaku mulai 1948 sampai 1996, sekitar 25.000 orang dimandulkan karena penyakit mental atau penyakit genetik...
Tokyo (ANTARA News) - Seorang wanita Jepang yang dipaksa dimandulkan saat remaja karena disabilitas intelektual menggugat pemerintah pada Selasa dalam kasus pertama dari kaumnya, mencari kompensasi karena merasa hak asasi manusia mereka yang mendasar telah diinjak-injak.

Berdasarkan undang-undang perlindungan egenetika Jepang, yang berlaku mulai 1948 sampai 1996, sekitar 25.000 orang dimandulkan karena penyakit mental atau penyakit genetik, menurut media Jepang. Mereka termasuk penderita kusta dan beberapa dengan disabilitas intelektual dan kognitif.

Sekitar 16.500 di antaranya diyakini telah menjalani operasi tanpa persetujuan mereka.

Wanita berusia 60 tahun yang menggugat telah menderita masalah mental setelah operasi untuk celah langit-langit saat bayi dan didiagnosis dengan cacat intelektual pada usia 15, setelah itu dia dimandulkan secara paksa, menurut media, mengutip dokumen pengadilan.

Akibat efek sampingnya, dia kemudian harus menghilangkan indung telurnya. Selanjutnya, pembicaraan tentang pernikahan ditiadakan sebagai akibat ketidakmampuannya untuk memiliki anak.

Tidak ada rincian lebih lanjut yang diberikan, termasuk nama wanita itu.

"Berkat hukum, kakak perempuan saya telah benar-benar menderita, menjalani hidupnya secara sembunyi-sembunyi," kata saudari dari wanita itu pada suatu konferensi pers.

"Kami ingin berdiri dan membangun masyarakat di mana bahkan orang-orang cacat dapat memiliki kehidupan yang bahagia," tegasnya.

Wanita tersebut meminta kompensasi sebesar 11 juta yen, dengan mengatakan pemerintah seharusnya telah menyiapkan tindakan bantuan untuk orang-orang yang ditargetkan menjalani operasi, karena melanggar hak asasi mereka.

Menteri Kesehatan Katsunobu Kato menolak memberikan komentar, mengatakan kepada wartawan bahwa dia tidak mengetahui rincian kasus itu, namun kementeriannya akan menyelidiki.

Orang-orang dengan disabilitas telah lama menderita rasa malu dan stigma di Jepang, meskipun upaya anti-diskriminasi telah meningkat sejak ada undang-undang yang mengatur, yang mulai berlaku pada 2016.

Meski begitu, pada Juli, Jepang dipaksa untuk menghadapi sikapnya setelah seorang pria melakukan pembantaian besar di fasilitas bagi orang-orang cacat di dekat Tokyo, menewaskan 19 orang saat mereka tidur dan melukai 26 orang. 

Dia sebelumnya mengancam "melenyapkan" orang-orang cacat.

Hampir tidak ada yang diungkapkan mengenai korban, kecuali jenis kelamin dan usia mereka, terutama atas permintaan keluarga mereka.

Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018