Bandung (ANTARA News) - Staf Penelitian Observatorium Boscha, Zainuddin Muhammad Arifin, mengatakan, pengamatan gerhana bulan total dapat dijadikan sebagai media untuk mengukur kadar polusi cahaya di atmosfir.

"Kalau dari sisi penelitian sendiri kita bisa melakukan pengamatan atmosfir bumi, jadi merahnya bulan itu karena pendaran cahayanya dari atmosfir bumi kita," kata Zainuddin di Observatorium Boscha, Lembang, Rabu.

Menurutnya, saat terjadi gerhana bulan total akan nampak seperti berwarna merah. Semakin merah bulan yang diamati, menandakan bahwa kadar polusi cahaya di sekitar langit masih baik.

Namun apabila saat terjadi gerhana bulan total menunjukan warna yang lebih gelap, dapat diindikasikan bahwa kadar polusi cahaya di atmosfir sudah tergolong buruk.

"Makanya kita sudah standby dari jam 19.52 WIB sampai 21.08 WIB. Itu kita harapkan jeda waktu tersebut bisa kita gunakan untuk dijadikan penelitian," kata dia.

Ia melanjutkan, selain untuk mengetahui kadar polusi cahaya, penelitian pun dapat diarahkan mengukur umbra atau bayangan bumi.

Gerhana bulan total kali ini dapat disebut istimewa, pasalnya menggabungkan tiga fenomena alam sekaligus yang disebut super-blue-blood-moon.

Disebut Super Moon, karena bulan masih berada di titik terdekatnya dengan bumi. Akibatnya bulan akan terlihat lebih besar dan bercahaya dari sebelum-sebelumnya.

Sementara dikatakan sebagai Blue Moon, karena ini merupakan bulan purnama kedua pada Januari. Bulan purnama pada bulan ini juga terjadi pada 1 Januari malam.

"Gerhana bulan total juga sering disebut Blood Moon karena saat gerhana total bulan tampak merah darah, karena cahayanya ditapis sedemikian rupa oleh atmosfer Bumi," kata dia.

Namun untuk gerhana bulan kali ini, langit di Bandung tertutup awan sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan penelitian. Masyarakat Bandung pun tidak bisa menikmati fenomena yang hadir ratusan tahun sekali ini.

"Sebenarnya bagi kita para peneliti biasa aja karena yang kita tunggu gerhana bulan total, yang penting gerhana bulan total. Nanti 28 Juli akan terjadi lagi kita akan menunggu yang 28 Juni," kata dia.

"Kalau masalah tiga fenomena itu, itu masalah masyarakat saja. Masyarakat bisa menikmati tiga fenomena dalam satu waktu," lanjutnya.

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018