Dakar (ANTARA News) - Program berskala besar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menghentikan deforestasi di Republik Demokratik Kongo, yang memiliki hutan hujan terluas kedua di dunia, telah memperburuk kehidupan warga lokal dan gagal melindungi hutan, kata lembaga penelitian hak atas tanah Rights Resources Initiative (RRI) pada Rabu.

Lembaga yang berkantor di Amerika Serikat tersebut meminta Bank Dunia untuk menahan dana bagi 20 program di Provinsi Mai-Ndombe, yang selama ini menjadi tempat uji coba program konservasi PBB bernama REDD+. Program ini juga diterapkan di sejumlah hutan di pulau Kalimantan, Indonesia.

Di area yang sering bergejolak akibat konflik, laporan RRI menyimpulkan bahwa program PBB di Provinsi Mai-Ndombe justru mengancam hak dan mengurangi pendapatan para perempuan adat setempat, termasuk di antaranya adalah 73.000 orang kerdil.

"REDD+ ditujukan untuk menghentikan penggundulan hutan dan memberikan keuntungan bagi warga lokal. Namun program di Mal-Ndombe gagal mencapai kedua tujuan tersebut," kata Marine Gauthier yang menulis laporan RRI.

Juru bicara program REDD+ tidak menanggapi permintaan komentar.

Salah satu kasus dalam program tersebut telah melibatkan sebuah perusahaan asal Amerika Serikat, Wildlife Works Carbon (WWC). Mereka mendapatkan konsesi lahan yang luas untuk melindungi hutan dari para penebang dan menggunakan sebagian dari uang yang mereka dapatkan dari penjualan karbon untuk warga lokal.

"Jutaan dolar AS telah dihabiskan untuk komunitas-komunitas setempat," kata direktur WWC, Mike Korchinsky, kepada Reuters.

Dia mengatakan bahwa pihaknya telah membangun sejumlah sekolah, klinik medis, dan memberikan dukungan kepada para petani selama bertahun-tahun.

Namun RRI mengatakan bahwa masyarakat lokal, yang menandatangani perjanjian dengan WWC, mengklaim program itu justru merusak tanah pertanian mereka dan aktivitas ekonomi lainnya.

"Masyarakat ini justru menanggung beban dari pengurangan deforestasi," kata Gauthier.

Sementara itu pihak Bank Dunia mengatakan bahwa pendanaan untuk REDD+ telah mendukung para warga miskin Kongo, dan di saat bersamaan berkontribusi untuk memenuhi target perubahan iklim.

"Kami akan memeriksa temuan laporan ini dan belum berencana untuk menahan pendanaan," kata juru bicara Bank Dunia melalui surat elektronik.

"Program ini mempertimbangkan lapangan kerja, mengurangi tekanan terhadap hutan-hutan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan kerusakan hutan," kata Bank Dunia.

RRI mengatakan bahwa perempuan dan minoritas menjadi pihak yang paling terpukul oleh REDD+, karena mereka sering tidak mendapatkan hak tanah legal dan tidak tidak diajak berunding untuk memutuskan arah program.

REDD+ adalah salah satu solusi terhadap perubahan iklim dalam perjanjian Paris 2015. Program ini menawarkan insentif uang bagi negara-negara yang memiliki hutan yang luas, termasuk Indonesia.

Kongo akan menjadi negara yang menandatangani REDD+ dengan Bank Dunia pada tahun ini, yang kemudian akan diikuti oleh 50 negara berkembang lain, kata RRI.

Namun RRI memperingatkan bahwa REDD+ akan semakin memperburuk konflik dan menjadi preseden berbahaya jika perubahan tidak dibuat.

(Uu.G005)


(Uu.SYS/A/G005/A/C003) 15-03-2018 11:44:14

Pewarta: SYSTEM
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2018