Tanah Lot, Bali (ANTARA News) - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Muliaman D. Hadad, mengatakan bahwa penerapan konsep universal banking mengimplementasikan perlunya revisi Undang-Undang (UU) perbankan, mengingat UU tersebut tidak memungkinkan bank untuk melakukan layanan jasa non-perbankan. "Keberadaan API dan UU Pasar Modal memungkinkan perbankan Indonesia untuk terlibat dalam kegiatan yang bersangkutan dengan sekuritas dan memberikan layanan non-perbankan melalui anak perusahaan. Namun, itu belum cukup untuk memperdalam pasar finansial," kata Muliaman dalam Seminar Internasional Stabilitas Pasar Keuangan di Tanah Lot Bali, Kamis. Menurut dia, ada beberapa tantangan penting yang harus dilakukan untuk memungkinkan penerapan konsep tersebut, yaitu mengenai kewajiban modal yang lebih besar, manajemen risiko yang lebih ketat, pengembangan Teknologi Informasi (TI), peningkatan skill karyawan bank dan penerapan prinsip tata kelola perusahaan (GCG). "Terkait dengan manajemen risiko, ketentuan yang ada mewajibkan sertifikasi mereka yang mengelola manajemen risiko paling lambat pada 2010," katanya. Sementara itu, Deputi Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Wimboh Santoso, mengatakan revisi itu kemungkinan akan mencantumkan bahwa perbankan dapat melakukan layanan keuangan non-perbankan. "Tapi, detailnya akan dijelaskan melalui PBI," katanya. Saat ini, jelasnya, pihaknya masih melakukan kajian terkait revisi UU perbankan yang segera akan diajukan ke DPR. Dia menjelaskan, skema universal banking nantinya akan dimaksudkan untuk pembiayaan proyek jangka panjang atau "project financing". "Prinsip universal banking sendiri dimaksudkan bahwa perbankan dapat melakukan pelayanan keuangan non perbankan, seperti saham hingga menyediakan jasa-jasa untuk perusahaan melakukan merger," katanya. Dengan layanan yang semakin banyak, katanya, diharapkan semakin banyak investor yang masuk dengan harga produk yang semakin murah. Ditanya tentang kemungkinan terjadinya "overlapping" pengawasan antara Bapepam-LK Depkeu dan BI, Wimboh mengatakan dengan adanya Forum Stabilitas Sektor Keuangan (FSSK), pengawasan dapat dilakukan oleh kedua belah pihak tanpa ada resiko "overlapping" tersebut. "Semua tinggal dibicarakan. Sebenarnya dengan adanya forum itu, dikotomi antara Depkeu dan BI tidak ada lagi," jelasnya. Sedangkan, pengamat ekonomi dari Inter-CAFE IPB, Imam Sugema mengatakan universal banking bukan jawaban yang tepat bagi sektor keuangan yang lebih jalan, karena kemungkinan terjadi "overlapping" pengawasan antara Depkeu dan BI. Sebenarnya, tambah Imam, beberapa bank besar di Indonesia telah mengadopsi konsep itu meski tidak sepenuhnya seperti Bank Mandiri yang telah memiliki AXA Mandiri yang memberikan layanan asuransi dan Mandiri Sekuritas, demikian juga dengan BNI dan Mandiri, namun saat ini mereka masih berupa anak perusahaan "Tapi, saya kira bentuk anak perusahaan seperti itu malah lebih baik daripada digabungkan dengan bank induknya. Penggabungan layanan keuangan non perbankan oleh perbankan dikhawatirkan akan memusatkan liabilitas dari anak perusahaan itu ke bank," ujarnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007