Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengukuhkan tiga profesor riset dari Pusat Penelitian Oseanografi, Pusat Penelitian Politik, dan Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya dalam acara pengukuhan yang berlangsung di gedung LIPI Jakarta, Selasa.

Tiga peneliti yang dikukuhkan menjadi profesor riset yakni Dr Ir Zainal Arifin, M. Sc dari bidang keilmuan penelitian pencemaran laut dan bioremediasi, Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, M. A dari bidang politik dan penanganan migrasi ASEAN, dan Dr. Didik Widyatmoko, M. Sc dari bidang konservasi tumbuhan. 
 
Dalam orasinya pada acara pengukuhan profesor riset LIPI yang ke-510, 511, dan 512 itu Zainal Arifin menyatakan industrialisasi, pengembangan kota dan urbanisasi menjadi faktor yang paling signifikan mempengaruhi kualitas ekosistem perairan pantai. 

"Pantai-pantai kota yang ada di sepanjang pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, sebagian pantai barat dan timur Kalimantan cenderung memiliki tingkat kontaminasi logam berat yang lebih tinggi dibanding pantai-pantai di kawasan timur Indonesia seperti Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Papua," kata Zainal. 

Kondisi yang demikian, menurut dia, antara lain terjadi akibat aktivitas industri yang terkonsentrasi di sepanjang pantai, tingkat urbanisasi yang tinggi, dan  pertumbuhan kota yang tidak terkelola.
 
Zainal mengungkapkan kebutuhan akan tiga data penting berkenaan dengan spesiasi logam berat dalam sedimen, bio indikatormulti-spesies, dan toksisitas logam berat dengan spesies lokal guna memahami dan mengatasi masalah tersebut.  

"Integrasi tiga informasi tersebut ditambah perubahan perilaku masyarakat akan memperkuat upaya pengelolaan ekosistem perairan pantai di Indonesia, sehingga sumberdaya hayati laut akan lebih sehat dan aman dikonsumsi," katanya.

Sementara Tri Nuke Pudjiastuti mengemukakan pemaknaan baru mengenai prinsip tidak ikut campur pada penanganan migrasi paksa dalam kerangka ASEAN. 

"Cox’s Bazar,  Bangladesh, yang merupakan tempat penampungan pengungsi etnis Rohingya terbesar di dunia, adalah bukti kompleksitas masalah migrasi paksa membutuhkan penanganan secara komprehensif," jelas Tri Nuke.

Dia menjelaskan upaya yang dibangun untuk mencari jalan keluar penyelesaian migrasi paksa Rohingya sepenuhnya merupakan bagian dari diplomasi humanitarian. 

"Perlu mengubah mandat The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Center) dari penanganan akibat bencana alam ditambahkan dengan bencana sosial," ujar Nuke. 

Ia juga mengharapkan ketegasan ASEAN dalam memilah antara kepentingan politik keamanan internal dan yang sifatnya transnasional serta regional. "Hal itu akan berpengaruh bagi negara-negara anggota ASEAN dalam bersikap dan bertindak," katanya.

Sementara Didik Widyatmoko dalam orasinya mengemukakan ancaman kepunahan keanekaragaman tumbuhan di Indonesia yang makin serius. 

"Dari 386 spesies terancam punah pada 2009 menjadi 437 pada 2018. Jika kategori Hampir Terancam dimasukkan jumlahnya bahkan meningkat mencapai 600 spesies," jelas dia. 

Menurut Didik, inovasi dan strategi konservasi tumbuhan Indonesia sangat diperlukan karena lebih dari 50 persen spesies pohon bernilai komersial. 

"Sekitar 1.300 spesies berkhasiat obat, berbagai spesies berpotensi pangan, dan sebagian besar tumbuhan langka Indonesia belum diteliti," katanya.

Ia menyatakan, Kebun Raya memiliki fungsi konservasi sangat strategis karena saat ini mengelola sekitar 104.761 spesimen ilmiah yang terdiri atas 7.365 spesies, atau sekitar 34,4 persen tumbuhan berbunga dan paku Indonesia. 

"Koleksi ilmiah berupa cadangan sumberdaya genetik yang tidak ternilai harganya tersebut tersimpan di 37 Kebun Raya Indonesia yang memberikan kontribusi sangat signifikan bagi konservasi global," terangnya.  

Dia juga menyatakan kawasan konservasi ex-situ (kebun raya) dan in-situ merupakan kekuatan besar bukan hanya dalam konservasi tumbuhan, tetapi juga menjadi modal besar pembangunan ekonomi dan sosial bangsa.

Baca juga: LIPI kukuhkan tiga profesor riset baru
 

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018