Jakarta (ANTARA) - Direktorat Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridhi Sani, mengatakan diperlukan jeratan pasal berlapis untuk para pelaku jerat agar menimbulkan efek jera.

"Kasus jerat ini perlu menerapkan pasal berlapis, kalau perlu Undang-Undangnya juga berlapis," ujar pria yang disapa Pak Roy itu di Jakarta, Rabu.

Para pemasang jerat dapat dikenakan pasal 21 ayat 2 huruf a, juncto pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

Dalam hal tindak pidana menangkap, melukai, membunuh satwa dilindungi dengan alat berupa jerat belum mencapai tujuan (baru tindakan permulaan membawa atau memasang jerat) tetap dapat dikenakan pidana percobaan sebagaimana diatur dalam pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Roy mengungkapkan dalam empat tahun terakhir sudah menangani 260 kasus terkait tumbuhan dan satwa liar (TSL) dilindungi, dan khususnya terkait harimau lima kasus pada 2015, 10 kasus pada 2016, 19 kasus pada 2017, enam kasus pada 2018 dan satu kasus pada 2019.

Penanganan kasus terhadap kejahatan satwa liar, khususnya harimau sumatera sudah pernah dilakukan dengan hukuman maksimum di atas empat tahun di Pengadilan Muko-muko Bengkulu yaitu satu kasus pada tahun 2016 dan dua kasus di Pengadilan Indragiri Hulu pada tahun 2017.

Roy mengatakan penindakan hukum bukan satu-satunya cara. Penegakan hukum perlu dilakukan untuk melakukan efek jera. "Perlu partisipasi masyarakat juga untuk menyosialisasikan bahwa tindakan pemasangan jerat merupakan suatu kejahatan luar biasa yang harus dihentikan," ujar dia.

Ketua Forum Harimau Kita, Munawar Kholis, mengatakan momentum Hari Harimau Sedunia atau Global Tiger Day (GTD) yang diperingati pada setiap akhir bulan Juli menjadi momentum untuk merefleksikan dan memperkuat upaya konservasi harimau sumatera.

"Hari ini tidak ada perayaan karena kita sebenarnya sedang bersedih," ujar Munawar dalam kegiatan diskusi bertajuk Darurat Jerat sebagai salah satu ancaman utama konservasi harimau sumatera.

Ia berharap perhatian publik akan bahaya jerat dapat ditingkatkan karena dapat mengancam ekosistem dan membawa korban bagi siapa saja termasuk manusia.

Berdasarkan Population Viability Analysis (PVA) 2016, populasi harimau sumatera di habitatnya sekitar 600 ekor, tersebar di 23 kantong habitat. Namun, keberadaannya semakin terancam oleh berbagai tekanan terhadap populasinya termasuk banyaknya jerat yang umumnya dipasang pada batas-batas wilayah kebun masyarakat maupun di dalam kawasan hutan.

Jerat masih menjadi salah satu ancaman terbesar populasi harimau. Berdasarkan data yang dikumpulkan melalui SMART-RBM (Spatial Monitoring and Reporting Tools - Resort Based Management) dan patroli rutin oleh tim patroli Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Wiratno, tercatat 3.285 jerat telah diamankan oleh UPT maupun mitra pada saat berpatroli dari tahun 2012 hingga 2019. Jenis-jenis jerat yang paling mematikan adalah jerat sling dan nilon.

Dalam waktu dekat, Wiratno akan berkoordinasi dengan para penegak hukum melalui lembaga-lembaga hukum yang berwenang untuk menindak tegas pemasang jerat ataupun yang menyuruh melakukan pemasangan jerat.

Roy mengatakan bahwa pihaknya bersama UPT Ditjen KSDAE akan melakukan operasi jerat di lanskap Sumatera. "Tahap pertama dilakukan di lima lokasi yaitu kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, SM Giam Siak Kecil Bukit Batu Riau, Ekosistem Bukit Tigapuluh Jambi, Taman Nasional Way Kambas, Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Aceh," ujarnya.*

Baca juga: Jikalahari minta Pemrov Riau selamatkan habitat harimau Sumatera

Baca juga: BKSDA sebut perburuan jadi ancaman kepunahan Harimau Sumatera

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019