Jakarta (Antara Bengkulu) - Sejumlah LSM mendaftarkan permohonan pengujian UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA dan UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY terkait aturan seleksi hakim agung ke Mahkamah Konstitusi (MK).

LSM yang tergabung yang dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Peradilan Profesional, yakni Indonesian Legal Roundtable (ILR), Indonesia Corruption Watch (ICW, Perludem, YLBHI, LBH Jakarta, LKBH Universitas Sahid, KRHN, TII mempersoalkan kewenangan DPR dalam pemilihan seleksi calon hakim agung (fit and proper test) yang termuat dalam Pasal 8 ayat (2), (3), (4), (5) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY.

"Kedua UU itu, DPR memilih calon hakim agung yang diusulkan KY, bukan menyetujui. Padahal dalam Pasal 24A ayat (3) UUD Tahun 1945 menyebutkan DPR hanya memberikan persetujuan dalam pengangkatan hakim agung," kata salah satu pemohon dari LKBH Usahid Yuherman, saat mendaftar di MK Jakarta, Selasa.

Yuherman mengatakan kedua UU tersebut mengharuskan KY untuk mengusulkan tiga kali jumlah hakim agung yang dibutuhkan kepada DPR.

Padahal, lanjutnya, dalam UUD Tahun 1945 DPR hanya memberikan persetujuan, seperti dalam pemilihan panglima TNI, anggota komisioner KPPU, gubernur BI, dan pemilihan anggota BPK.

Kedua UU ini juga memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung, DPR kembali melakukan metode seleksi calon hakim yang dilakukan KY, seperti tes makalah, rekam jejak, dan wawancara terbuka.

"Saat wawancara, anggota DPR juga menguji penguasaan ilmu hukum si calon, padahal tidak semua anggota DPR berlatar belakang hukum, sehingga tidak jelas alat ukurnya," katanya.

Menurut dia, sebagai lembaga politik, DPR seharusnya hanya menilai performa calon hakim agung, misalnya menggali visi dan misi yang dimiliki calon untuk memberikan perubahan positif terhadap jabatan yang akan diembannya.

"Tidak melakukan hal-hal bersifat teknis seperti yang sudah dilakukan KY saat penjaringan nama-nama calon-calon. Metode pemilihan hakim agung sudah menyimpang dari amanat UUD Tahun 1945," kata Yuherman.

Untuk itu, pemohon meminta MK menafsirkan secara bersyarat terkait pasal yang diuji tetap konstitusional sepanjang dimaknai calon hakim agung ditetapkan presiden setelah mendapat persetujuan dari DPR.

"Formulasi pengusulan 3 berbanding 1 harus dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jadi, ke depannya kami berharap KY hanya mengusulkan jumlah calon hakim sesuai permintaan MA ke DPR, sehingga DPR tinggal memberikan persetujuan atau tdak," kata Yuherman.

Bunyi lengkap pasal yang diuji, yakni Pasal 18 ayat (4) UU KY: "Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak berakhirnya seleksi uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden".

Pasal 8 UU MA ayat (2) berbunyi: "Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial".

Ayat (3): "Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan".

Ayat (4): "Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat".

Ayat (5) Pengajuan calon hakim agung oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon disetujui dalam Rapat Paripurna. (ANT)

Pewarta:

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013