Sejumlah masyarakat dari Pulau Sumatera termasuk Provinsi Bengkulu menuntut pemerintah untuk membatalkan Undang-Undang Mineral dan Baru Bara (UU Minerba) sebab regulasi tersebut dinilai tidak berpihak pada masyarakat.

"Disaat masyarakat dirumahkan karena COVID-19, DPR malah bersidang dan mengesahkan UU Minerba. Padahal DPR yang duduk senang-senang di kursi itukan uangnya dari rakyat tapi mereka tidak memikirkan rakyat makan apa," kata Kepala Desa Pondok Bakil, Kabupaten Bengkulu Utara, Yusmanilu dalam rapat virtual dengan tema "Sidang Rakyat menolak UU Minerba" yang dikenal koalisi Bersihkan Indonesia, Minggu. 

Ia mengatakan akibat eksploitasi batu bara, lubang tambang di sekitar desanya dibiarkan terbuka, akses jalan rusak, sawah masyarakat rusak dan pemukiman masyarakat sekitar tambang juga rusak serta keluhan masyarakat juga tidak pernah dihiraukan. 

Hal senada juga disampaikan oleh pejuang lingkungan Bengkulu, Hamidin bahwa masyarakat sangat dirugikan oleh keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang sudah menghilangkan ekosistem mangrove di Teluk Sepang, Bengkulu. 

Proyek itu juga telah menggusur tanam tumbuh warga yang nilai ganti ruginya tidak manusiawi.

Hamidin mengatakan pengesahan UU Minerba akan semakin memperparah kerusakan lingkungan yang otomatis menambah penderitaan warga.

Dosen Hukum Universitas Bengkulu, Edra Satmaidi yang menjadi panelis dalam diskusi daring itu menjelaskan bahwa dalam membuat Undang-undang harus memperhatikan landasan filosofis dan sosiologis, apakah hal tersebut dapat memberikan dampak yang lebih baik pada masyarakat.
 
Warga Bengkulu sebut UU Minerba tidak berpihak pada masyarakat. (Foto Antarabengkulu.com)

Kemudian harus berprinsip kemandirian, berwawasan lingkungan, memperhatikan kesejahteraan dan berdimensi Hak Asasi Manusia (HAM) serta norma Undang-Undang berlaku umum kepada siapa saja, perseorangan, operasi, swasta dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). 

"Harusnya semua keputusan ada pada negara, selalu menempatkan negara berdaulat disitu. Sudah saatnya kita tegakkan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam," ujarnya. 

Sementara Mahasiswa Hukum Pecinta Alam (Mahupala) Universitas Bengkulu, Ricky Pratama mengatakan bahwa dalam UU Minerba terdapat persoalan moralitas hukum konstitusional dan secara substantif maupun prosedural telah cacat karena tidak ada pembahasan sama sekali dan tidak sesuai dengan kriteria. 

"Pengesahan UU Minerba menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada keterbukaan selama perencangan karena bertentangan dengan asas pembentukan perundang-undangan," katanya.

Menurut Riki, ketiadaan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam pengesahan UU ini telah menciderai dan tidak sesuai dengan amanat konstitusi karena DPD berhak untuk terlibat dalam membahas otonomi daerah, sehingga wakil rakyat telah mencederai martabat dan marwah serta mengabaikan putusan MK tentang UU Minerba. 

"Kami menolak UU Minerba karena mendewakan manusia sebagai pusat alam semesta," katanya.

Diskusi daring ini merupakan bagian dari rangkaian sidang tandingan rakyat sebagai respon atas pengesahan UU Mineral dan batu bara oleh DPR RI. Sidang ini telah berlangsung sejak Jumat (29/5) dengan mendengar pandangan dari perwakilan masyarakat di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Nusa Tenggara dan Bali serta akan ditutup pada Senin (1/6).

Pewarta: Anggi Mayasari

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020