Ada banyak ragam masalah yang bisa diangkat menjadi suatu cerita fiksi atau fiksi bercampur fakta.
        
Yuleng Ben Tallar, penulis dari Surabaya, menerbitkan novel pertamanya berjudul Gadis Tiyingtali, yang mengulas romantika hidup kalangan pelukis, kolektor, kurator hingga makelar lukisan.
         
Bukanlah suatu kebetulan bila Yuleng mengangkat tema lukisan, mengingat ayahnya, Wiwik Hidayat, adalah pelukis ternama di Jawa Timur yang karya-karyanya antara lain tergantung di gedung negara Grahadi, di Surabaya.
        
Istrinya pun, Nunung Bachtiar, juga pelukis yang cukup punya nama.
         
Gadis Tiyingtali hadir di saat seni rupa di Indonesia sedang naik daun menjadi benda koleksi yang bisa meningkatkan gengsi orang-orang berduit, atau bahkan sudah beberapa kali disebut bahwa lukisan bisa menjadi investasi semacam emas dan mata uang asing bahkan saham.
         
Kesanalah Yuleng, pria bernama asli Syahrul Bachtiar ini akan membawa pembaca, ke dunia yang baru digeluti oleh segelintir orang saja.
        
Dalam buku setebal 220 halaman ini Yuleng hendak membeberkan bahwa setiap lukisan punya riwayat, malahan seperti mempunyai roh yang bisa "menghidupkan" benda itu  bagi pemiliknya.
         
Harga lukisan yang bisa naik turun disebabkan oleh banyak faktor, salain oleh keelokan gambarnya, keaslian ide, teknik melukis juga bisa disebabkan nama besar pelukisnya.  
   
Campur tangan kolektor, kurator dan pedagang juga bisa membuat sebuah lukisan yang biasa-biasa saja menjadi istimewa dan harganya melambung hingga  ratusan juta.
         
Dikisahkan, tokoh utama bernama Novi, seorang kolektor  lukisan yang tinggal di ujung pulau Madura, yang terlibat dalam pencarian riwayat lukisan yang sudah dijualnya.  
   
Pemilik baru yang sangat penasaran berusaha mencari tahu sosok model, perempuan dari desa Tiyingtali di Karangasem, Bali, adakah perempuan nyata atau rekaan pelukisnya.
        
Siapakah gadis dalam lukisan Mebanten itu? Apa hubungannya dengan Rahma sang kolektor baru yang rela membeli lukisan tersebut dengan harga mahal melalui proses jual beli yang aneh? Akankah pencariannya menemukan jawaban?
    
Seni lukis dan romantika cinta anak manusia bukan sekedar tema biasa,  ada unsure misteri dan juga mengungkap fakta "busuk" bisnis lukisan dan intrik-intrik ada di dalam karya tersebut.
        
Cerita bergulir dengan bahasa yang menarik, diseling oleh pengetahuan sang penulis mengenai perkembangan dunia lukis di Indonesia maupun internasional, teknik melukis bahkan gaya lukisan dari sejumlah maestro.
        
Yuleng bahkan bisa dengan luwes membangun karakter perempuan yang biasa memperhatikan detil tata ruang, sikap dan masakan,  juga menghidupkan tempat-tempat yang menjadi latar cerita dengan membangun imaji di atas realita.
        
Pembaca bisa bertanya-tanya, adakah hunian Novi di Kwanyar memang ada? Atau siapa pelukis Ruspandi? Tokoh rekaan atau nyata seperti sederet nama pelukis Jawa Timur yang disebutnya misalnya Amang Rachman,  Tedja Suminar dan lainnya.
        
Penulis yang pernah menjadi wartawan LKBN Antara dan Surabaya  Post , masih melekatkan gaya jurnalistik dalam karyanya dengan memasukkan informasi faktual dan hal-hal baru yang terjadi ketika karya ditulis, misalnya soal jembatan Suramadu dan kesibukan pelayaran di Selat Madura yang memiliki daya tarik kota maritim Surabaya.
        
Cuplikan mengenai selat itu pada halaman 105 berbunyi demikian:Novie kembali menawarkan teh yang sudah hangat hangat kuku.  
   
Sementara lampu di dinding jembatan Suramadu mulai menyala berwarna-warni silih berganti. Lampu mobil dan motor yan lewat di atasnya makin menghidupkan suasana.  
   
Sementara suara seruling kapal beberapa kali terdengar dari kolong jembatan. Itu kapal-kapal pengangkut wisatawan domestik yang hendak melihat jembatan dari dekat.
           
Tokoh-tokoh pelukis tak luput pula diulasnya dalam jalinan cerita yang menarik,  sehingga membawa pembaca untuk masuk ke dalam situasi yang sulit membedakan antara imaji dan realita dalam tulisannya.
        
Gaya seperti ini memang khas penulis sastra yang berangkat dari jalur jurnalistik.
        
Tidak banyak novel yang mengangkat obyek lukisan seperti ini dan Gadis Tiyingtali setidaknya bisa menjadi salah satu referensi mengenai potret seni lukis di Indonesia pada zamannya.
        
Beberapa kelemahan yang mungkin terasa adalah pada bab terakhir, judul bab dapat menggiring pembaca untuk menebak akhir cerita yang terkesan serba kebetulan, meskipun jenis ¿ending¿ seperti ini dapat memuaskan pembaca.
        
Penulis juga beberapa kali memberikan informasi berulang yang dimaksud mempertegas pesan yang ingin disampaikan, misalnya mengenai gaya lukisan Ruspandi yang dipengaruhi Art Noveau (halaman 57-58 dan halaman 182).
        
Terlepas dari kekurangan yang ada, kehadiran Gadis Tiyingtali  yang diterbitkan oleh penerbit Selasar, Surabaya ini makin meramaikan kancah sastra di kota Pahlawan  yang selama ini baru memperkenalkan sedikit nama seperti Budi Darma dan Supara Brata.
        
Penulis yang memutuskan memakai nama pena Yuleng Ben Tallar sudah siap meluncurkan karya berikutnya berjudul Ngaruwahia. (Ant)

Pewarta: Maria D. Andriana

Editor : Triono Subagyo


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013