Pandemi COVID-19 yang melanda hampir seluruh belahan dunia tidak hanya menjadi ujian terhadap kekuatan ekonomi setiap bangsa, namun juga pada kebutuhan yang mendasar bagi manusia, yakni pangan.

Masih dalam memperingati Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada 16 Oktober 2020, pandemi telah menyingkapkan masih rapuhnya sistem pangan dan pertanian global yang memicu resesi ekonomi dunia. Penilaian itu setidaknya dari kacamata Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).

Akibat resesi ekonomi, setidaknya 132 juta orang di dunia diprediksi menderita kelaparan sampai akhir tahun ini. Bahkan sebelum pandemi, lebih dari dua miliar orang tidak memiliki akses yang tetap untuk makanan yang aman dan bergizi.

Dalam situasi ini, pandemi memberikan pelajaran penting bahwa sistem pangan belum sepenuhnya mandiri dan masih rentan ketika ada guncangan yang mengakibatkan terganggunya rantai pasok dalam negeri.

Indonesia pun masih mengandalkan impor untuk sejumlah komoditas, seperti gula, bawang putih dan daging sapi/kerbau. Terbukti, ketika awal pandemi melanda negeri, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan melakukan relaksasi kebijakan impor untuk bawang putih.

Kebijakan berupa pembebasan persyaratan surat perizinan impor (SPI) dilakukan untuk meredam lonjakan harga bawang putih yang sempat menyentuh harga Rp70.000 per kilogram.

Sama halnya pada bawang putih, harga gula pasir pada Mei lalu juga sempat mencapai Rp20.000 per kilogram di beberapa daerah, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp12.500 per kg.

Diterapkannya karantina wilayah (lockdown) di India menjadi penyebab Indonesia kesulitan memasok gula untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di sisi lain, produksi gula dari petani lokal masih menunggu jadwal penggilingan tebu yang baru dilakukan pada bulan Juni-Juli.

Setidaknya, gejolak harga maupun pasokan tidak terlalu terasa pada pangan utama masyarakat Indonesia, yakni beras. Namun demikian, FAO mengingatkan bahwa pandemi ini bisa menyebabkan krisis pangan dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Presiden Joko Widodo berulang kali mengadakan rapat terbatas dengan sejumlah menteri dan mengingatkan untuk cermat pada peringatan FAO soal potensi kelangkaan pangan.

"Sektor pangan misalnya FAO sudah memberikan peringatan akan terjadinya krisis pangan, bencana kelaparan yang mengancam dunia 135 juta orang terancam kelaparan atau bahkan mengalami lebih buruk dari itu," kata Presiden.

Dalam keadaan ini, Indonesia harus memastikan betul bahwa ketersediaan pangan, terutama beras dapat dipenuhi dari dalam negeri, sehingga keran impor tidak diperlukan.

Pasalnya, bukan tidak mungkin jika negara produsen beras lainnya, seperti Thailand dan Vietnam memilih untuk tidak membuka ekspor beras sebelum kebutuhan dalam negeri mereka benar-benar tercukupi.

Untuk membangun kemandirian pangan, terutama pada komoditas beras, Pemerintah nampaknya tidak ingin berlama-lama membuat keputusan. Program food estate atau lumbung pangan dengan sistem pertanian terpadu yang modern dipersiapkan sejak pertengahan tahun 2020 untuk mengantisipasi kebutuhan konsumsi beras pada 2021. Upaya ini juga untuk merespons peringatan FAO terkait ancaman krisis pangan.

Mandiri pangan

Pengembangan lahan rawa menjadi lahan produktif melalui program food estate di Provinsi Kalimantan Tengah dinilai akan menguatkan ketersediaan beras dalam negeri.

Kementerian Pertanian menyatakan ketersediaan beras dijamin aman hingga akhir 2020. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyebutkan stok beras hingga akhir Desember 2020 diprediksi surplus sekitar 7 juta ton. Apalagi, Kementan juga mengejar musim tanam II pada Oktober 2020-Maret 2021, serta program food estate.

"Produksi beras sepanjang 2020 sangat aman. Hingga akhir Desember 2020 nanti bahkan ada stok sekitar 7 juta ton. Realisasi ini akan terus positif, apalagi ada program Kostratani. Food estate juga sudah digulirkan di Kalimantan Tengah," kata Mentan Syahrul Yasin Limpo.

Pemerintah menargetkan proyek lumbung pangan ini dapat ditanami pada musim kedua, yakni mulai Oktober 2020 sampai Maret 2021.

Dari total luas 165.000 hektare lahan rawa yang ditetapkan sebagai pengembangan food estate, pemerintah memprioritaskan pada tahap awal akan menggarap lahan seluas 30.000 ha dan tersebar di Kabupaten Kapuas seluas 20.000 ha dan Kabupaten Pulang Pisau 10.000 ha.

Produktivitas lahan pertanian padi pada area food estate yang dikembangkan pemerintah di Kalimantan Tengah diperkirakan mencapai enam ton gabah kering panen (GKP) per hektare.

Untuk mewujudkan ekosistem bisnis pertanian, Presiden Jokowi juga memerintahkan agar Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMND) maupun perusahaan swasta mendampingi korporasi petani dan nelayan hingga tercipta model bisnis yang benar-benar baik.

Dengan begitu, optimalisasi lahan rawa food estate tidak hanya berfokus pada kegiatan hulu atau produksi, tetapi juga hilir dan pasca panen.

Kementan juga berupaya mengubah cara bertani tradisional ke modern dengan teknologi yang sudah ada sehingga diharapkan produktivitas bisa meningkat dan mampu memperkuat ketahanan pangan nasional.

Untuk mendukung modernisasi di lahan food estate, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) mengembangkan alat pertanian modern seperti teknologi pengolahan lahan rawa menggunakan traktor apung khusus, penanaman padi menggunakan mesin penanam padi otomatis atau rice transplanter serta pemupukan menggunakan drone.

Tak hanya di mekanisasi, teknologi sumberdaya lahan, penyediaan benih jeruk siam Pontianak serta ternak itik master juga disiapkan untuk mengembangkan food estate Kalimantan Tengah ini. Kementerian Pertanian telah menyatakan komitmen untuk mendukung penuh program ini.

Dengan mengusung konsep pengembangan pangan yang terintegrasi, proyek food estate nantinya tidak hanya berfokus pada tanaman pangan, tetapi juga perkebunan, hortikultura dan peternakan guna memperkuat cadangan pangan nasional dan mewujudkan kemandirian pangan.

Meski masih pada tahap awal, proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah ini akan menjadi percontohan yang akan diterapkan di wilayah lain, tentunya sesuai dengan karakteristik potensi lahan masing-masing.

Proyek yang menjadi prioritas pemerintah, terutama pada tahun 2021, diharapkan tidak hanya menjawab kemandirian pangan nasional, tetapi juga berdampak ganda karena berputarnya roda perekonomian di wilayah tersebut.

Di tengah dampak resesi yang melanda pada negara maju dan berkembang, sektor pertanian memang tidak dipungkiri menjadi tumpuan dan penopang tumbuhnya perekonomian, di saat sektor lainnya melambat.

Oleh karena itu, keterlibatan penuh pemerintah pusat antarkementerian/lembaga, BUMN, BUMD, pelaku usaha swasta, hingga masyarakat petani sangat dibutuhkan demi terwujudnya mandiri pangan melalui proyek food estate.


 

Pewarta: Mentari Dwi Gayati

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020