Surabaya (ANTARA Bengkulu) - Siapapun sependapat bahwa pers di Indonesia saat ini memiliki kebebasan yang sangat luar biasa pasca-reformasi, bahkan ada pendapat bahwa kebebasan pers Indonesia sudah "kebablasan".

Namun, kebebasan pers itu tidak otomatis dialami dalam suasana merdeka. Artinya, pers memang bebas melaporkan apa saja, tapi kebebasan melaporkan itu tidak merdeka karena ada intervensi dalam konteks internal pers.

Kebebasan tapi tidak merdeka itu dapat dibuktikan dari peringkat "World Press Freedom Index 2012" yang dikeluarkan oleh Reporters Without Borders, terkait Indeks Kemerdekaan Pers.

Dalam pemeringkatan Indeks Kemerdekaan Pers itu, Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia turun dari 117 pada tahun 2011 menjadi 146 pada tahun 2012. Itu merupakan sebuah ironi di Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari.

Posisi itu berada di bawah Filipina (140), Gambia (141), Rusia (142), Kolombia (143), Swaziland (144), dan Republik Demokratik Kongo (145). Posisi Indonesia itu sama dengan negara Malawi (146).

"Kami menyampaikan keprihatinan atas turunnya peringkat Indonesia dalam World Press Freedom Index 2012 yang dikeluarkan oleh Reporters Without Borders itu," kata Direktur LBH Pers Surabaya, Athoillah (1/2).

Menurut dia, turunnya posisi Indonesia dalam penilaian organisasi masyarakat sipil berbasis di Paris yang mempromosikan dan memperjuangkan kemerdekaan informasi di dunia itu, disebabkan banyak faktor.

"Tajamnya penurunan posisi itu berkaitan erat dengan banyaknya kekerasan dan upaya menghalang-halangi kemerdekaan pers di Indonesia serta kurangnya penegakan hukum yang berujung pada impunitas," paparnya.

Selain itu, belum tuntasnya berbagai kasus pembunuhan jurnalis semakin menambah anjloknya posisi Indonesia.

"Turunnya peringkat Indonesia itu juga merupakan peringatan bagi pers, terkait masih kuatnya ancaman terhadap kemerdekaan pers. Banyaknya kekerasan terhadap pers yang seiring dengan belum adanya kesungguhan aparat hukum untuk menindaknya," ucapnya.

Selain kekerasan fisik, LBH Pers Surabaya juga menilai keputusan politik dan kebijakan negara juga menjadi ancaman kemerdekaan pers, di antaranya munculnya UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

"Karena itu, kami mendukung sejumlah pihak yang tergabung dalam Koalisi Advokasi UU Intelijen Negara mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas sejumlah pasal dalam UU Intelijen yang kami anggap bermasalah itu," tukasnya.

Ancaman pemilik media
Namun, pengamat dari Fisip Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bambang Budiono menilai ada ancaman kemerdekaan pers yang lebih gawat dari ancaman kalangan ekternal, yakni ancaman dari internal pers atau pemilik modal dalam dunia massa.

"Bebas dan merdeka itu berbeda. Pers Indonesia memang sudah bebas, tapi pers Indonesia belum merdeka, karena pemilik media sudah terlalu jauh melakukan intervensi pada konten, terutama pada media televisi," katanya di kampus Unair Surabaya (8/2).

Menurut pengajar Antropologi Politik Fisip Unair itu, pemilik modal boleh saja memiliki media sebanyak mungkin, tapi dia tidak boleh melakukan intervensi konten media, karena hal itu akan merugikan publik/masyarakat.

"Dengan adanya intervensi konten itu akan membuat informasi yang mencerahkan, mencerdaskan, dan bebas kepentingan tidak akan didapat masyarakat lagi bila konten diintervensi pemilik modal," tuturnya di sela-sela "Roundtable Discussion" (RTD) bertajuk "Konsolidasi Ke-Indonesiaan" yang digelar Unair, PPAD, dan Gerakan Beli Indonesia itu.

Mantan Direktur Pusat Studi HAM (PusHAM) Unair itu mengatakan pemerintah melalui KPI perlu membatasi intervensi konten itu melalui regulasi yang tegas, dan memisahkan antara kepemilikan media dengan kepemilikan konten media.

"Bagaimana pun, intervensi konten media dari pemilik modal, terutama televisi, telah terbukti menjadi faktor penyebab turunnya Indeks Kemerdekaan Pers, karena informasi yang dikeluarkan wartawan, reporter, dan redaktur mengandung kepentingan pemilik modal yang dikemas dengan 'kebebasan pers'," kilahnya.

Dominasi kepentingan pemilik modal itu, katanya, akan semakin merugikan masyarakat bila pemilik modal itu bergerak ke politik, sehingga kepentingan politik akan mewarnai media itu. "Karena itu, KPI harus mendorong regulasi yang membatasi kepentingan investor masuk ke dalam konten media," ucapnya, menyarankan.

Menanggapi hal itu, Ketua KPI Jatim Fajar Arifianto menegaskan bahwa pertemuan KPI se-Indonesia sudah membahas aturan tentang "Pedoman Perilaku Penyiaran Indonesia" (P3I) bersama SPS.

"Pembahasan itu sudah tuntas dan tinggal beberapa waktu lagi akan menjadi pedoman bagi kalangan penyiaran. Saat ini, KPI Pusat masih menunggu pendapat publik tentang aturan itu," ujarnya.

Menurut salah seorang pimpinan STIKOSA-AWS itu, aturan itu dibuat karena media penyiaran seperti radio dan televisi itu menggunakan frekuensi yang merupakan milik publik, sehingga tidak boleh digunakan kepentingan individu.

"KPI se-Indonesia sudah sepakat bahwa intervensi pemilik media yang akhir-akhir ini melanda pertelevisian di Tanah Air itu merupakan pengkhianatan kepada publik, karena itu harus diatur. Kami juga sudah merancang sanksi mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan izin," katanya.

Agaknya, kalangan pers sudah waktunya tidak hanya menggembor-gemborkan kebebasan pers di Indonesia, namun mereka justru menelikung kebebasan itu dengan memanfaatkan "kebebasan pers" untuk membelenggu kemerdekaan pers, sehingga indeks kemerdekaan pers pun "terjun bebas" meremukkan publik.(E011/C004)

Pewarta: Edy M Ya'kub

Editor : AWI-SEO&Digital Ads


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012