Setelah film Sang Pencerah yang menceritakan kisah nyata pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan beredar 2010, maka satu lagi tokoh Islam difilmkan melalui layar lebar.
        
Kali ini kiprah perjuangan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang berbasis di Jombang, Jawa Timur, pada masa pendudukan Jepang sampai awal revolusi kemerdekaan (1942-1947), difilmkan dengan judul Sang Kiai.  
   
Film dibuka dengan kondisi kehidupan santri yang semuanya bersarung di Pesantren Tebu Ireng, Jombang, yang diasuh oleh KH Kiay Asy'ari (diperankan Ikranegara).
        
Saat itu,  pesantren sedang membuka pendaftaran bagi calon santri yang ingin menuntut ilmu agama di Tebu Ireng.
        
Seorang anak yang diantar ayahnya hendak mendaftar masuk Tebu Ireng dan sang ayah berkata "Saya tidak memiliki apa-apa untuk membayar masuk pesantren".
        
Langsung si penerima pendaftar, yang ternyata salah seorang santri di Tebu Ireng, menolak keinginan ayah itu karena tidak memiliki kekayaan berupa hasil bumi.
        
Rupanya KH Hasyim mengetahui kesulitan sang ayah itu dan menyampaikan kepada santrinya dengan menepuk bahunya "Jangan halangi anak untuk menuntut ilmu. Silahkan masuk ke pondok walaupun tidak memiliki apa-apa". Artinya, siapa pun yang ingin menuntut ilmu agama kalau orangtuanya tak mampu, silahkan masuk ke Tebu Ireng.
        
Itulah sepenggal pernyataan bijak sang kiai membuat si ayah miskin yang tidak memiliki kekayaan hasil bumi terpengarah kagum.
        
Cerita pun mengalir dengan menggambarkan kehidupan santri bersarung di pondok pesantren, seperti mengaji, menulis huruf Arab, hingga melaksanakan sholat lima waktu.
        
Beberapa tokoh penghibur juga ditampilkan oleh sang sutradara Rako Prijanto, seperti Harun (Adipati Doelken) dan Sarinah (Meriza febriani).

    
Jatuh cinta
   
Dalam film itu keduanya merupakan santri dan santriwati yang saling jatuh cinta pada pandangan pertama yang ternyata diketahui oleh sang Kiai Hasyim.
        
"Sudah sana kamu besok ke rumahnya. Nanti aku yang melamarnya," demikian Kiai Hasyim menyampaikan ke Harun. Tak urung Harun pun melonjak kegirangan.
        
Dalam perjalanan di film itu, akhirnya keduanya menikah walaupun pada akhir cerita Harun harus mati saat melawan tentara sekutu (Inggris) di Surabaya.
        
Sejumlah tokoh dekat dengan Hasyim Asy'ari, seperti Wahid Hasyim (Agus Kuncoro) dan Nyai Kapu (Christine Hakim), istri sang kiai juga ditampilkan dalam film itu.
        
Bahkan Abdurrahmad Wahid kecil alias Gus Dur juga ditampilkan secara sekilas dalam film itu.
        
Cerita pun makin seru saat tentara Jepang menyerbu Tebu Ireng dan menembakkan senjata karena para santri tidak mau memberi tahu dimana keberadaan Sang Kiai.
        
KH Hasyim oleh pihak Jepang dituduh menghasut para santri untuk melawan Nippon.
        
Pihak Jepang menuduh Hasyim menyulut kerusuhan di Cukir, sebuah wilayah di sekitar Jombang.
        
Saat tentara Jepang ngamuk dengan cara menembakkan senjata ke gedung pondok, Hasyim pun keluar dari ruangan dengan didampingi orang dekatnya seperti Wahid Hasyim.
        
"Saya Hasyim Asy'ari yang kalian cari," kata Asy'ari dengan lantang menggunakan sorban dan pakaian serba putih.
        
Pimpinan tentara jepang minta agar Kiai Hasyim dibawa untuk ditahan. Tapi tidak mudah bagi tentara Jepang untuk membawa Sang Kiai karena semua santri melakukan perlawanan sehingga terjadi kekerasan.
        
Perlawanan tak seimbang pun terjadi, saat tentara Jepang memukuli menggunakan popor senjata sampai menginjak-injak para santri sehingga banyak yang berdarah-darah mempertahankan sang kiai.
        
Akhirnya Hasyim tak kuasa melihat santrinya "digebuki dan ditendangi" dan membiarkan dirinya dibawa tentara Jepang menggunakan truk ke penjara untuk ditahan.
        
Di tahanan melalui seorang penerjemah, Hasyim diinterogasi untuk mengakui kesalahannya dan menolak tunduk serta melakukan "Seikerei" (menyembah Dewa Matahari).
        
Saat diinterogasi, azan terdengar mengumandang. Hasyim dengan santainya tanpa takut berdiri meninggalkan komandan tentara Jepang yang sedang menginterogasi serta penerjemah yang seorang muslim.
        
"Kalau kamu seorang muslim saat mendengarkan azan harus tinggalkan semua kegiatan. Itu adalah panggilan Allah," kata Hasyim kepada sang penterjemah.
        
Hasyim pun melenggang pergi untuk sholat. Si interogator Jepang dan penerjemah terbengong-bengong melihat sikap religius Hasyim.
        
Sementara itu santri Tebu Ireng tak tinggal diam saat Sang Kiai ditahan dan disiksa sehingga memaksa Wahid Hasyim terus berunding dengan petinggi militer Jepang, sekalipun harus ke Jakarta.
        
Upaya Wahid Hasyim rupanya tak sia-sia. Sang Kiai Hasyim Asy'ari pun dibebaskan, dan para santri pun gembira menyambut di depan pintu gerbang penjara.
        
Cerita film tak selesai disitu. Rupanya tentara Jepang punya niat lain yaitu minta kepada Hasyim Asy'ari agar menyerukan kepada masyarakat sekitar untuk menanam hasil bumi untuk selanjutnya diserahkan ke Jepang.
        
Bukan hanya itu, Jepang juga minta kepada Hasyim Asy'ari untuk mengizinkan santri berlatih militer sebagai bagian dari tentara Jepang.
        
Hasyim mengizinkan tapi meminta agar santri yang dilatih militer Jepang tergabung dalam laskar tersendiri, yakni Hizbullah.
    
           Melawan sekutu
   
Jepang kalah perang, Sekutu mulai datang. Soekarno sebagai presiden saat itu mengirim utusannya ke Tebu  Ireng untuk meminta KH Hasyim Asy'ari membantu mempertahankan kemerdekaan.
        
KH Hasyim Asyari menjawab permintaan Soekarno dengan mengeluarkan Resolusi Jihad yang kemudian membuat barisan santri dan masa penduduk Surabaya berduyun duyun tanpa rasa takut melawan sekutu di Surabaya.
        
Gema resolusi jihad yang didukung oleh semangat spiritual keagamaan membuat pemuda-pemuda Indonesia berani mati.
        
Para santri yang sebelumnya telah terlatih militer oleh tentara Jepang pun, atas ridho Hasyim Asy'ari pun pergi ke Surabaya untuk berperang melawan tentara sekutu.
        
Laskar Hizbullah bersama santri dan masyarakat selanjutnya tergambarkan dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, yang berujung tewasnya Brigadir jenderal AWS Mallaby.
        
Di situ Mallaby yang sedang berada di dalam mobil tewas ditembak oleh Harun, seorang santri Tebu Ireng, yang kesal dengan sikap penjajah.
        
Film berdurasi sekitar 120 menit tersebut cukup berhasil menggambarkan cerita kepahlawanan KH Hasyim Asy'ari yang dengan kemampuan diplomasi serta pengaruhnya, mampu memberikan semangat kepada santrinya untuk melawan penjajah.
        
Ada hal unik yang sepertinya luput dari editing film itu, yakni ketika sejumlah santri sedang dialog terlihat separuh menara "BTS (Base Transceiver Station)" di belakang pondok pesantren. BTS pada masa perjuangan saat itu tentunya belum ada.
        
Film Sang Kiai menurut sang sutradara Rako Prijanto dapat ditonton khalayak umum di bioskop pada 30 Mei 2013. (*)

Pewarta: Oleh Ahmad Wijaya

Editor : Triono Subagyo


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013