Kepedulian dr. Setya Budi Pamungkas, Sp.O.G. terhadap bayi-bayi yang lahir dengan membawa masalah kesehatan telah membuahkan karya canggih dalam teknologi kedokteran.

Budi, dokter spesialis kandungan ini biasa dipanggil, bekerja sama dengan dua lulusan Akademi Teknik Elektro Medik Surabaya Choirul Anam dan Endri Suprapto telah menciptakan alat bantu pernapasan bayi atau "continuous positive airway pressure" (CPAP). CPAP canggih, bahkan diklaim lebih bagus dari produk luar negeri itu kini sudah memasuki generasi keenam.

Budi yang juga pemilik Rumah Sakit Anak dan Bersalin (RSAB) Kirana di Kecamatan Taman, Sidoarjo, Jatim, itu memastikan produknya lebih canggih karena sudah menggunakan sistem digital untuk pencampuran oksigen, sementara produk luar negeri masih manual.

Bahkan, jika CPAP luar negeri masih menggunakan tabung atau kompresor oksigen super besar, produksi mereka sudah menggunakan oksigen gel yang hanya berbentuk kotak kecil. Meskipun kecil sehingga mudah dibawa ke mana-mana, kekuatan oksigen itu bisa digunakan selama tiga jam.

"Dengan sistem digital ini, pencampuran dengan oksigen murni presisinya sangat tepat atau pas sesuai dengan kebutuhan si bayi yang lahir bermasalah, sedangkan yang manual tidak bisa persis karena menggunakan model campuran perkiraan," kata Anam menjelaskan.

Kalau menggunakan kompresor besar, alat tersebut biasanya menimbulkan suara berisik sehingga membuat rasa tidak nyaman bagi si bayi, maka CPAP produknya tidak bersuara. Oleh karena itu, bayi yang sedang dirawat akan lebih tenang.

Dari segi harga, Budi, Anam, dan Endri, memastikan bahwa alat yang diproduksinya jauh lebih murah. Untuk generasi awal sebelum digital produk luar negeri mencapai Rp140 juta, CPAP produk Sidoarjo itu hanya dijual Rp40 juta. Jika saat ini sudah ada produksi luar negeri yang menggunakan sistem digital, harganya diperkirakan bisa mencapai Rp350 juta hingga Rp400 juta, sementara produk dalam negeri ini hanya sekitar Rp130 juta.

Meskipun telah menghasilkan produk canggih untuk membantu bayi-bayi yang lahir bermasalah, seperti prematur atau lahir dengan problem pernapasan, belum semua kalangan medis sepenuhnya menerima produk tersebut. Oleh karena itu, Budi, Anam, dan Endri masih terus melakukan perjuangan.

"Saya melihat bahwa para dokter kita masih berorientasi ke produk luar negeri. Mereka tidak percaya dengan produk kami. Pernah kami ikut pameran alat kedokteran, ada dokter anak yang malah menjelek-jelekkan produk ini," kata Budi yang pernah menjadi Wakil Direktur RSUD Sidoarjo itu.

Budi mengalami masalah untuk membela diri terhadap keraguan, bahkan cibiran dokter spesialis anak tersebut karena dia bukan dokter spesialis anak.  

"Pernah kami ikut pameran dan ada dokter anak yang ngotot tidak percaya bahwa CPAP ini murni produk Sidoarjo. Dokter itu berkeyakinan bahwa dalam memproduksi ini ada 'back-up' dari luar negeri. Dia tidak percaya pada kemampuan bangsa sendiri," kata Endri menambahkan.

Budi mengemukakan bahwa dirinya sudah sering bertemu dengan orang yang mau mengembangkan produk tersebut. Namun, umumnya hanya berpikir dari aspek bisnis. Oleh karena itu, dia menolak kerja sama tersebut.

Ia berharap mitra yang diajak kerja sama tetap menempatkan aspek sosial sebagai yang utama.

"Kalau mengedepankan aspek bisnis, nantinya akan mahal juga. Padahal, saya ingin semua rumah sakit memiliki alat ini dengan harga yang murah sehingga banyak nyawa bayi lahir bermasalah yang tertolong. Ketika saya ngotot tidak melulu berpikir bisnis, mereka mundur," katanya.

Bahkan, kata dia, tidak jarang calon mitranya itu berusaha membujuk Anam dan Endri untuk bekerja sama dengan meninggalkan Budi. Tentu dengan iming-iming materi yang menggiurkan. Namun, kedua anak muda itu tetap memegang komitmen teguh untuk terus bersama-sama mengembangkan alat tersebut bertiga.

"Saya tetap teguh dengan komitmen karena melihat komitmen Dokter Budi yang luar biasa. Sebagai dokter spesialis dan pemilik rumah sakit bersalin, sudah selayaknya dia kaya raya. Akan tetapi, beliau tidak memilih itu. Beliau terus berinvestasi selama tujuh tahun untuk mengembangkan CPAP ini," kata Anam.

Pilihannya itu diakui Budi memang tidak mudah. Terkadang tantangannya muncul juga dari keluarga yang mempertanyakan hasil produksinya tersebut. Ia berhasil meyakinkan keluarganya bahwa usahanya tersebut mengandung kemuliaan untuk kebaikan bayi-bayi yang lahir dengan tidak normal.

"Saya berpikir bahwa jika alat ini murah, semua rumah sakit akan mampu membeli. Dampaknya adalah bayi-bayi yang lahir bermasalah akan tertangani karena biaya yang dikenai juga akan murah. Ini untuk menyalamatkan anak-anak bangsa ini. Keterlambatan penggunaan CPAP-- akibat di suatu rumah sakit tidak memiliki alat ini--akan berpengaruh pada kemampuan otak si bayi untuk selamanya," katanya.

Ia menjelaskan bahwa biaya pemeliharaan alat tersebut jauh lebih mudah daripada produk luar negeri, termasuk garansi dan perbaikan jika ada kerusakan dari alat tersebut. Para calon mitra kerja samanya juga mempermasalahkan karena garansi yang dijaminkan dari alat tersebut selama satu tahun.

Selain itu, pihaknya juga melakukan pendampingan tenaga operator alat tersebut sampai bisa dan dilanjutkan dengan konsultasi yang dilayani oleh Anam dan Endri.

Keteguhan Budi dilandasi oleh suatu keyakinan bahwa niat mulia pasti akan ditemukan jalan oleh Tuhan untuk bisa dikembaangkan dan berguna bagi banyak orang. Ia berharap ada lembaga atau perorangan yang mau membiaya produksi alat tersebut dengan landasan kemanusian.

"Kalau saya tidak sabar, alat ini sudah saya bawa ke luar negeri dan saya kerja samakan dengan mitra luar negeri. Tentu saya akan mendapatkan uang banyak. Akan tetapi, bukan itu tujuan saya. Saya ingin alat ini menjadi kebanggaan Indonesia dan bisa menolong banyak orang," katanya.

Ia mengemukakan bahwa di sejumlah rumah sakit biasanya menetapkan jaminan uang Rp50 juta terhadap perawatan bayi bermasalah yang harus menggunakan CPAP. Hal itu dinilai wajar karena mahalnya alat tersebut, termasuk biaya perawatan dan pengoperasiannya.

Dengan CPAP produknya, menurut dia, biaya itu bisa ditekan sampai menjadi Rp750 ribu hingga Rp1,5 juta per hari. Biasanya bayi bermasalah tersebut akan tuntas perawatannya dengan menggunakan CPAP selama dua hingga tiga hari. Hal tersebut tentu berbeda jika si bayi memiliki problem lain, seperti jantung.

Budi bercerita bahwa dirinya beruntung berkenalan dengan Anam yang sejatinya merupakan sarjana teknik sipil dari perguruan tinggi ternama di Indonesia. Budi mengenal Anam sebagai sosok yang tidak mudah menyerah dalam mengerjakan sesuatu meskipun di luar bidangnya.

"Mas Budi ini tidak pernah bilang tidak bisa, termasuk ketika disuruh mengotak-atik alat-alat elektronik kedokteran. Akhirnya saya minta dia kuliah lagi di D-3 Akademi Teknik Elektro Medis di Surabaya. Dia tidak keberatan meskipun sudah menyandang gelar S-1," kata Budi.

Saat kuliah itulah Anam bertemu dengan teman satu kelasnya bernama Endri. Keduanya kemudian bekerja sama dengan Budi untuk membuat alat tersebut.

Awalnya mereka membeli alat-alat bekas di suatu tempat di Surabaya. Uji coba awal sekitar tahun 2005 tidak mulus karena alat tersebut terbakar. Anam dan Endri tidak menyerah dan kemudian lahirlah CPAP generasi pertama manual. Mereka makin tertantang untuk mengembangkan yang lebih canggih hingga tercipta yang digital.

Saat ini, Budi, Anam, dan Endri tengah mengembangkan ambulans khusus bayi yang di dalamnya dilengkapi dengan inkubator yang menyatu dengan CPAP. Oleh karena itu, jauhnya jarak rumah si bayi dengan rumah sakit tidak menjadi masalah karena selama dalam perjalanan bayi itu sudah mendapat perawatan utama, yakni terbantunya pernapasan.

Pewarta: Oleh Masuki M. Astro

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013