Jakarta (Antara) - Lansiran Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang 36 calon anggota legislatif (caleg) yang berkomitmen rendah dalam upaya pemberantasan korupsi bisa jadi adalah kabar buruk sekaligus kabar baik.

Rilis tersebut bisa berarti kabar baik sebab hanya 36 dari 6.500-an caleg yang terjaring masuk dalam daftar calon kurang antikorupsi.

Namun, di sisi lain lansiran lembaga tersebut adalah kabar buruk yang mencerminkan ketidakberesan dalam upaya perang melawan korupsi di Tanah Air.

Masyarakat tidak kemudian harus menelan hasil kajian itu mentah-mentah, tetapi harus tetap cerdas merespon untuk tidak menjadikannya acuan namun hanya sebagai rambu-rambu yang memberikan peringatan untuk jeli mendeteksi caleg yang prokorupsi.

Rilisan itu setidaknya menjadi bahan pertimbangan bagi seorang calon pemilih untuk obyektif dan tepat sasaran memilih calon wakil pemimpin yang akan duduk menjadi perumus kebijakan yang menentukan arah perjalanan bangsa.

Jika disadari saat ini, formula terberat bagi calon pemilih di Indonesia adalah bersikap cerdas mendeteksi calon anggota dewan yang prokorupsi atau caleg yang kurang mendukung upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Pengacara senior dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Adnan Buyung Nasution bahkan dengan tegas mengimbau masyarakat untuk tidak memilih 36 caleg yang tidak berkomitmen memberantas korupsi lansiran ICW tersebut.

"Orang-orang yang seperti itu memang jangan terpilih lagi. Juga mereka yang memiliki rekam jejak tidak propemberantasan korupsi jangan dipilih lagi," kata Adnan.

Sebelumnya ICW merilis 36 nama caleg DPR dari sembilan parpol peserta Pemilu 2014 yang dinilai tidak berkomitmen memberantas korupsi di Indonesia.

Menurut dia, rangkuman nama caleg ICW itu adalah instrumen yang dapat digunakan masyarakat untuk menyaring sebelum menjatuhkan pilihannya pada hari pemungutan suara 9 April tahun depan.

Dari 36 nama caleg pada daftar calon sementara (DCS) yang dirilis ICW, Partai Demokrat menyumbang sepuluh caleg, Partai Golkar sembilan caleg, PDI Perjuangan lima caleg, PKS empat caleg, Gerindra tiga caleg, PPP dua caleg, Hanura, PKB, dan PBB masing-masing 1 caleg.

    
Analisis ICW
Meski banyak suara miring soal ICW yang dituduh didanai oleh pihak-pihak tertentu untuk merilis data caleg yang memiliki komitmen lemah terhadap pemberantasan korupsi, namun analisis ICW bisa diacu untuk mendeteksi keberadaan caleg-caleg prokorupsi tersebut.

Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho mengatakan pihaknya yakin terhadap analisis dan hasil rilis data tersebut, sehingga jika ada gugatan hingga ke meja hijau ICW akan siap meladeninya.

"Kami mempunyai standar ketat soal rilis data informasi dan melakukan kroscek. Maka jika bicara soal data, mari kita bertarung saja di pengadilan," tegasnya.

Pihaknya telah merilis 36 nama caleg DPR di daftar calon sementara yang tidak mendukung aksi pemberantasan korupsi dengan keterlibatannya di sejumlah kasus dugaan korupsi.

Dari keseluruhan nama tersebut, 34 di antaranya saat ini masih menjabat sebagai anggota DPR yang menggunakan fungsi legislasi mereka dalam melemahkan lembaga antikorupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi.

Emerson menjelaskan metodologi yang digunakan ICW dalam menghimpun data itu berdasarkan pada fakta di lapangan, dari dokumen dakwaan di pengadilan tindak pidana korupsi, laporan institusi negara terkait, laporan dengar pendapat, dan pemberitaan di media massa.

Sebanyak 36 caleg tersebut yakni Aziz Syamsuddin (Golkar), Desmond J Mahesa (Gerindra), Herman Hery (PDI-P), Bambang Soesatyo (Golkar), Edhie Baskoro Yudhoyono (PD), Mahyudin (Golkar), I Wayan Koster (PDI-P), Said Abdullah (PDI-P), Mirwan Amir (PD), Abdul Kadir Karding (PKB), Olly Dondokambey (PDI-P), Jhonny Allen Marbun (PD), dan Ahmad Yani (PPP).

Berikutnya Syarifuddin Suding (Hanura), Nasir Djamil (PKS), Idris Laena (Golkar), Achsanul Qosasih (PD), Zulkifliemansyah (PKS), Ignatius Mulyono (PD), Nudirman Munir (Golkar), Setya Novanto (Golkar), Kahar Muzakir (Golkar), dan Adang Darajatun (PKS).

Selanjutnya Fahri Hamzah (PKS), Ribka Tjiptaning (PDI-P), Pius Lustrilanang (Gerindra), Melchias Marcus Mekeng (Golkar), M Nasir (PD), Vonny Anneke Panambunan (Gerindra), Nazaruddin Sjamsuddin (PBB), Sutan Bhatoegana (PD), Marzuki Alie (PD), Priyo Budi Santoso (Golkar), Max Sopacua (PD), Charles Jonas Mesang (Golkar), dan H Achmad Farial (PPP).

Terkait dengan rilis tersebut, dua anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Yani (Fraksi PPP) dan Syarifudin Sudding (Fraksi Hanura), telah melaporkan sejumlah aktivis ICW ke Badan Reserse Kriminal Polri.

Sebelumnya ICW pernah dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh mantan wakil ketua MPR AM Fatwa karena merilis 36 nama anggota DPR yang terlibat korupsi pada medio 2005.

Namun, pelaporan tersebut berujung dengan kesepakatan damai di antara kedua belah pihak tanpa ada pembuktian di pengadilan.

"Itu memang menjadi pelajaran bahwa ada kekeliruan di kami, dengan menyebut 'politisi busuk'. Itu jadi koreksi kami dan setelah itu kami sangat berhati-hati mengeluarkan data informasi," kata Emerson.

    
Mendeteksi Korupsi
Korupsi menjadi kosa kata yang semakin tidak asing di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Perbuatan tercela itu umumnya dilakukan lebih dari satu orang dengan motif yang dirahasiakan untuk meraih keuntungan tersendiri.

Di Indonesia, korupsi terkait erat dengan kekuasaan dan kewenangan serta cenderung berlindung di balik pembenaran hukum. Semua pada akhirnya kemudian sepakat bahwa korupsi melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum sekaligus mengkhianati kepercayaan.

Arya Maheka, dalam tulisannya yang berjudul Mengenali dan Memberantas Korupsi, KPK RI, menyebutkan korupsi antara lain disebabkan karena penegakan hukum yang tidak konsisten, hanya sebagai make-up politik, sifatnya sementara, dan selalu berubah setiap berganti pemerintahan.

"Masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan," tulisnya.

Menurut dia, korupsi di antaranya berawal dari budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah. Sayangnya konsekuensi saat pelakunya ditangkap justru lebih rendah daripada keuntungan korupsi dimana umumnya saat tertangkap pelaku bisa menyuap penegak hukum hingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.

Pakar Etika Politik Franz Magnis Suseno berpendapat, dalam kasus korupsi, agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri.

"Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial," katanya.

Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya sebab, agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya.

Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk.

Agama sekaligus bisa menutup peluang dan motivasi untuk menganggap korupsi sebagai kebutuhan, korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri, korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah, atau korupsi karena ingin menguasai suatu negara.

Agama sekaligus diharapkan menjadi alat pendeteksi paling baik untuk mengetahui caleg yang prokorupsi atau antikorupsi, dengan moral dan intuisi hati sebagai parameternya meski masih merupakan sesuatu yang abstrak.

Namun pemilih yang cerdas diyakini mampu melakukannya dengan mengacu pada analisis yang pernah ada terkait korupsi.

Pewarta: Oleh Hanni Sofia

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013