Yogyakarta (Antara) - Sejumlah aktor senior Teater Perdikan Yogyakarta mementaskan fragmen dengan lakon "Tafakur Anjing" karya budayawan Emha Ainun Nadjib di Yogyakarta, Kamis (1/8) malam.  

"Drama reading" atau drama dengan membaca naskah itu disutradarai oleh Indra Tranggono dan Toto Rahardjo. Pementasan tersebut juga merupakan persiapan produksi lakon "Tafakur Anjing" yang rencananya akan dipentaskan di beberapa kota besar di Indonesia.

"Pentas lakon dalam bentuk "drama reading" ini menandai selamatan produksi pementasan "Tafakur Anjing" selengkapnya. Rencananya akan kami pentaskan antara lain di Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Semarang dan Bali pada Agustus, September, hingga November mendatang," kata Sutradara Toto Rahardjo.    

Dalam pementasan itu, sutradara mengaku sengaja mengangkat kembali aktor-aktor senior Teater Perdikan, antara lain Joko Kamto, Novi Budianto, Tertib Suratmo, Bambang Susiawan dan Labibah Zein karena kematangan mereka dalam bergelut di dunia teater.

"Aktor senior yang rata-rata sudah berumur 60 tahunan ke atas memang sengaja kami pilih. Semakin tua semakin kita unggulkan," katanya.

Ia mengatakan drama karya Emha atau akrab dipanggil Cak Nun itu merupakan drama ide yang sangat cerdas serta mengandung nilai-nilai pemikiran mendalam. Kekuatan naskah Emha, menurut dia, terletak pada kata, keindahan kalimat dan kecerdasan logika.

"Setiap kata dan kalimat Emha mampu menciptakan peristiwa teater dalam imajinasi penonton," katanya.

Emha Ainun Najib melalui karyanya mencoba menggambarkan kondisi kebudayaan Indonesia yang sejak era terakhir cenderung mengunggulkan materialisme, kapitalisme dan industrialisme. Serta melupakan nilai luhur kehidupan.

"Saya menyebut "Tafakur Anjing" sebagai lakon batin yang mengajak penonton untuk berefleksi di tengah berbagai pendangkalan nilai kehidupan saat ini. Dunia artistik, intelektual dan spiritual diperlakukan sebagai komoditas untuk tujuan kapitalistik," kata Emha.

Selanjutnya di sisi lain, drama yang bersetting di dalam goa itu juga mengangkat persoalan beberapa tokoh dunia. Atara lain menghadirkan sosok konotatif seperti Hitler yang diplesetkan menjadi "Hilter" serta tokoh sejarah lainnya yang dilupakan bahkan dikutuk sepanjang sejarah.

"Sejarah mereka ditenggelamkan. Nama mereka dilupakan. Bahkan ada yang dikutuk sepanjang sejarah. Ceritanya mereka akhirnya berdiam di Goa Ashabul Kahfi, mempertahankan diri dan kemuliaan dari keganasan dunia," kata Cak Nun.

Dalam naskah drama tersebut, Emha banyak memainkan kalimat konotatif, puitis dan bahasa bersayap yang bisa berisi renungan satire, parodi bahkan ironi.

Pewarta:

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013