Kementerian Kesehatan RI melaporkan angka statistik kasus COVID-19 di Indonesia mencapai puncak pada 15 Juli 2021 sebanyak 56.757 orang dengan rata-rata 44.145 kasus terkonfirmasi positif dalam sepekan.
Kurang dari dua pekan berselang, angka kematian pasien memuncak dengan rata-rata 1.519 orang yang wafat dalam sepekan.
Seorang dokter di Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet, Jakarta, Andi Khomeini Takdir mengenang beban kerja para tenaga kesehatan yang harus berhadapan dengan 7.000 pasien per hari kala itu.
"Saya sehari bisa mengunjungi sekitar 100 pasien. Kita sempat melihat pasien sampai 7.000 lebih di mana kapasitas normal yang bisa dilayani teman-teman nakes di sana sekitar 3.000 pasien," katanya.
Situasi itu mengakibatkan interaksi secara manusiawi antara tenaga kesehatan dengan pasien menjadi jauh berkurang.
"Interaksi dokter dan pasien itu tidak hanya sekadar kasih obat, ada edukasi, diajarin, dikasih tahu. Tapi saya merasakan interaksinya berkurang. Ada rasa, saya kurang memberikan pelayanan optimal," katanya.
Andi saat itu sanggup berinteraksi kurang dari dua menit per pasien demi menjaga agar antrean yang lain jangan sampai terbengkalai. Beban kerja saat itu dirasakannya meningkat hingga lima kali lipat dari situasi normal.
Di luar situasi pasien yang perlu ditemui, Andi juga dihadapkan pada tanggung jawab menyelesaikan rata-rata 100 hingga 500 dokumen elektronik terkait laporan perkembangan kesehatan pasien yang dikerjakan sejak bangun tidur di waktu subuh dan berlanjut saat menjelang tidur di malam hari.
Ketua Tim Peneliti yang juga dokter spesialis okupasi Dewi Soemarko menyebut situasi yang dialami dr Andi Khomaeni sebagai fenomena 'burnout syndrome' atau kelelahan secara emosional yang memiliki risiko jangka panjang.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengungkapkan, 83 persen tenaga kesehatan pada saat itu mengalami hal serupa dengan gejala sedang dan berat selama lonjakan pandemi COVID-19 berlangsung.
Dewi menjelaskan apabila seorang tenaga kesehatan merasakan keletihan secara emosional, imbasnya adalah kehilangan motivasi yang jelas untuk bekerja.
Studi lain yang dilakukan Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) mengungkap bahwa lonjakan pasien COVID-19 telah memicu tingkat keterisian rumah sakit hingga di atas rata-rata 90 persen.
Ketua Tim Mitigasi PB IDI Adib Khumaidi menyebut saat itu Indonesia telah mengalami "fungsional kolaps sistem pelayanan kesehatan". Salah satu akibatnya, tenaga kesehatan harus menanggung kelelahan bertugas yang menyebabkan imunitas menurun setelah divaksinasi.
Tim Mitigasi PB IDI dan Perhimpunan dokter-dokter spesialis terdiri atas Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) menyerukan agar pemerintah segera mengendalikan pergerakan masyarakat di sektor hulu demi mengurangi beban kerja tenaga kesehatan di rumah sakit.
Wafat
Faktor kelelahan dalam bertugas yang menyebabkan imunitas menurun mengakibatkan angka kematian tenaga kesehatan melonjak akibat tingkat paparan virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 menyerang para dokter maupun perawat di rumah sakit.
Hingga Sabtu (14/8), Tim Mitigasi PB IDI mencatat sudah ada 1.700 tenaga kesehatan wafat selama musim pandemi COVID-19. Sebanyak 640 di antaranya berprofesi sebagai dokter.
Beberapa wilayah yang menjadi penyumbang kematian dokter terbanyak berasal dari Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra Utara dan 24 wilayah lain dengan angka kematian dokter berada di bawah 30 jiwa.
Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, angka kematian dokter didominasi oleh laki-laki dengan total 84 persen dari keseluruhan total kematian dokter di Indonesia. Tenaga kesehatan dengan tingkat kematian tertinggi yaitu dokter umum, bidan, spesialis penyakit dalam, dan spesialis anak.
Data dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada Juni 2021 melaporkan sekitar 7.392 perawat yang terkonfirmasi positif, suspek sebanyak 309, dan mereka yang gugur sebanyak 445 perawat.
"Melonjaknya pasien COVID-19 saat itu menyebabkan tenaga kesehatan mendapatkan beban kerja berlebihan. Hal ini dia khawatirkan memunculkan potensi kelelahan pada tenaga kesehatan, yang berimbas pada menurunnya imunitas mereka," kata Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah.
Harif mengapresiasi kebijakan pemerintah dalam upaya menekan angka kematian tenaga kesehatan melalui pemberian vaksin booster atau dosis ketiga bagi tenaga kesehatan.
Hasil studi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaporkan vaksinasi COVID-19 terbukti efektif menekan risiko perawatan dan kematian pada tenaga kesehatan.
Hasil studi yang melibatkan 71.455 tenaga kesehatan di DKI Jakarta pada periode Januari hingga Maret 2021, vaksinasi dosis pertama dan kedua Coronavac cukup efektif dalam mencegah infeksi COVID-19 pada tenaga kesehatan. Namun pada periode April-Juni 2021, vaksinasi lengkap kurang cukup melindungi tenaga kesehatan dari infeksi COVID-19.
Pada periode April sampai Juni 2021, kata Nadia, efektivitas Coronavac dalam mencegah perawatan dan kematian akibat COVID-19 lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya.
"Efektivitas Coronavac dalam mencegah perawatan sebesar 74 persen, berkurang menjadi 53 persen, sementara efektivitas Coronavac dalam mencegah kematian adalah sebesar 95 persen pada bulan Januari-Maret yang kemudian menjadi 79 persen pada periode April sampai dengan Juni 2021," katanya.
Atas dasar itu, Kemenkes kemudian memberikan vaksin COVID-19 dosis ketiga untuk menambah perlindungan bagi tenaga kesehatan yang berisiko tinggi terinfeksi COVID-19 karena tugasnya.
Kasus menurun
Kementerian Kesehatan melaporkan angka kasus COVID-19 di Tanah Air menurun hingga separuh dari kondisi puncak dalam waktu satu bulan terakhir. Pada Sabtu (14/8) angka kasus harian mencapai 28.598 serta kematian 1.270 orang dalam sepekan.
Menurut Nadia penurunan angka kasus di Tanah Air juga dibarengi dengan berkurangnya keterisian tempat tidur perawatan pasien di rumah sakit atau BOR di berbagai daerah.
Misalnya di Jakarta yang sudah berada di kisaran 29,4 persen, Jawa Barat 32 persen, Jawa Tengah 38,3 persen, Jawa Timur 52,3 persen, di Banten 33,4 persen, Daerah Istimewa Yogyakarta 54,7 persen.
"Angka BOR secara nasional berada di angka 48,14 persen," kata Nadia.
Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia Imam Budidarmawan Prasodjo berpendapat bahwa situasi itu tidak lepas dari peran tenaga kesehatan yang telah bekerja keras menekan angka kematian pasien.
Namun Imam menyorot tentang persoalan insentif tenaga kesehatan yang sebagian masih tertahan oleh birokrasi di tingkat pemerintah daerah.
"Kalau kemarin kita punya pahlawan olahraga yang merebut emas, langsung Rp5 miliar lebih digelontorkan. Para tenaga kesehatan yang berjuang mempertaruhkan nyawa, banyak dari mereka yang belum mendapatkan insentifnya, bukan untuk menumpuk kekayaan, tapi untuk bertahan hidup," katanya.
Imam melaporkan saat ini sejumlah kota/kabupaten di 19 provinsi ada yang baru mencairkan alokasi insentif tenaga, khususnya yang berstatus honorer, kurang dari 25 persen.
"Salah satunya di Jawa Barat. Dari total alokasi dana insentif nakes berkisar Rp50 miliar, baru Rp20 miliar di antaranya yang sudah terserap pada dua pekan lalu," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
Kurang dari dua pekan berselang, angka kematian pasien memuncak dengan rata-rata 1.519 orang yang wafat dalam sepekan.
Seorang dokter di Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet, Jakarta, Andi Khomeini Takdir mengenang beban kerja para tenaga kesehatan yang harus berhadapan dengan 7.000 pasien per hari kala itu.
"Saya sehari bisa mengunjungi sekitar 100 pasien. Kita sempat melihat pasien sampai 7.000 lebih di mana kapasitas normal yang bisa dilayani teman-teman nakes di sana sekitar 3.000 pasien," katanya.
Situasi itu mengakibatkan interaksi secara manusiawi antara tenaga kesehatan dengan pasien menjadi jauh berkurang.
"Interaksi dokter dan pasien itu tidak hanya sekadar kasih obat, ada edukasi, diajarin, dikasih tahu. Tapi saya merasakan interaksinya berkurang. Ada rasa, saya kurang memberikan pelayanan optimal," katanya.
Andi saat itu sanggup berinteraksi kurang dari dua menit per pasien demi menjaga agar antrean yang lain jangan sampai terbengkalai. Beban kerja saat itu dirasakannya meningkat hingga lima kali lipat dari situasi normal.
Di luar situasi pasien yang perlu ditemui, Andi juga dihadapkan pada tanggung jawab menyelesaikan rata-rata 100 hingga 500 dokumen elektronik terkait laporan perkembangan kesehatan pasien yang dikerjakan sejak bangun tidur di waktu subuh dan berlanjut saat menjelang tidur di malam hari.
Ketua Tim Peneliti yang juga dokter spesialis okupasi Dewi Soemarko menyebut situasi yang dialami dr Andi Khomaeni sebagai fenomena 'burnout syndrome' atau kelelahan secara emosional yang memiliki risiko jangka panjang.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengungkapkan, 83 persen tenaga kesehatan pada saat itu mengalami hal serupa dengan gejala sedang dan berat selama lonjakan pandemi COVID-19 berlangsung.
Dewi menjelaskan apabila seorang tenaga kesehatan merasakan keletihan secara emosional, imbasnya adalah kehilangan motivasi yang jelas untuk bekerja.
Studi lain yang dilakukan Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) mengungkap bahwa lonjakan pasien COVID-19 telah memicu tingkat keterisian rumah sakit hingga di atas rata-rata 90 persen.
Ketua Tim Mitigasi PB IDI Adib Khumaidi menyebut saat itu Indonesia telah mengalami "fungsional kolaps sistem pelayanan kesehatan". Salah satu akibatnya, tenaga kesehatan harus menanggung kelelahan bertugas yang menyebabkan imunitas menurun setelah divaksinasi.
Tim Mitigasi PB IDI dan Perhimpunan dokter-dokter spesialis terdiri atas Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) menyerukan agar pemerintah segera mengendalikan pergerakan masyarakat di sektor hulu demi mengurangi beban kerja tenaga kesehatan di rumah sakit.
Wafat
Faktor kelelahan dalam bertugas yang menyebabkan imunitas menurun mengakibatkan angka kematian tenaga kesehatan melonjak akibat tingkat paparan virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 menyerang para dokter maupun perawat di rumah sakit.
Hingga Sabtu (14/8), Tim Mitigasi PB IDI mencatat sudah ada 1.700 tenaga kesehatan wafat selama musim pandemi COVID-19. Sebanyak 640 di antaranya berprofesi sebagai dokter.
Beberapa wilayah yang menjadi penyumbang kematian dokter terbanyak berasal dari Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra Utara dan 24 wilayah lain dengan angka kematian dokter berada di bawah 30 jiwa.
Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, angka kematian dokter didominasi oleh laki-laki dengan total 84 persen dari keseluruhan total kematian dokter di Indonesia. Tenaga kesehatan dengan tingkat kematian tertinggi yaitu dokter umum, bidan, spesialis penyakit dalam, dan spesialis anak.
Data dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada Juni 2021 melaporkan sekitar 7.392 perawat yang terkonfirmasi positif, suspek sebanyak 309, dan mereka yang gugur sebanyak 445 perawat.
"Melonjaknya pasien COVID-19 saat itu menyebabkan tenaga kesehatan mendapatkan beban kerja berlebihan. Hal ini dia khawatirkan memunculkan potensi kelelahan pada tenaga kesehatan, yang berimbas pada menurunnya imunitas mereka," kata Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah.
Harif mengapresiasi kebijakan pemerintah dalam upaya menekan angka kematian tenaga kesehatan melalui pemberian vaksin booster atau dosis ketiga bagi tenaga kesehatan.
Hasil studi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaporkan vaksinasi COVID-19 terbukti efektif menekan risiko perawatan dan kematian pada tenaga kesehatan.
Hasil studi yang melibatkan 71.455 tenaga kesehatan di DKI Jakarta pada periode Januari hingga Maret 2021, vaksinasi dosis pertama dan kedua Coronavac cukup efektif dalam mencegah infeksi COVID-19 pada tenaga kesehatan. Namun pada periode April-Juni 2021, vaksinasi lengkap kurang cukup melindungi tenaga kesehatan dari infeksi COVID-19.
Pada periode April sampai Juni 2021, kata Nadia, efektivitas Coronavac dalam mencegah perawatan dan kematian akibat COVID-19 lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya.
"Efektivitas Coronavac dalam mencegah perawatan sebesar 74 persen, berkurang menjadi 53 persen, sementara efektivitas Coronavac dalam mencegah kematian adalah sebesar 95 persen pada bulan Januari-Maret yang kemudian menjadi 79 persen pada periode April sampai dengan Juni 2021," katanya.
Atas dasar itu, Kemenkes kemudian memberikan vaksin COVID-19 dosis ketiga untuk menambah perlindungan bagi tenaga kesehatan yang berisiko tinggi terinfeksi COVID-19 karena tugasnya.
Kasus menurun
Kementerian Kesehatan melaporkan angka kasus COVID-19 di Tanah Air menurun hingga separuh dari kondisi puncak dalam waktu satu bulan terakhir. Pada Sabtu (14/8) angka kasus harian mencapai 28.598 serta kematian 1.270 orang dalam sepekan.
Menurut Nadia penurunan angka kasus di Tanah Air juga dibarengi dengan berkurangnya keterisian tempat tidur perawatan pasien di rumah sakit atau BOR di berbagai daerah.
Misalnya di Jakarta yang sudah berada di kisaran 29,4 persen, Jawa Barat 32 persen, Jawa Tengah 38,3 persen, Jawa Timur 52,3 persen, di Banten 33,4 persen, Daerah Istimewa Yogyakarta 54,7 persen.
"Angka BOR secara nasional berada di angka 48,14 persen," kata Nadia.
Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia Imam Budidarmawan Prasodjo berpendapat bahwa situasi itu tidak lepas dari peran tenaga kesehatan yang telah bekerja keras menekan angka kematian pasien.
Namun Imam menyorot tentang persoalan insentif tenaga kesehatan yang sebagian masih tertahan oleh birokrasi di tingkat pemerintah daerah.
"Kalau kemarin kita punya pahlawan olahraga yang merebut emas, langsung Rp5 miliar lebih digelontorkan. Para tenaga kesehatan yang berjuang mempertaruhkan nyawa, banyak dari mereka yang belum mendapatkan insentifnya, bukan untuk menumpuk kekayaan, tapi untuk bertahan hidup," katanya.
Imam melaporkan saat ini sejumlah kota/kabupaten di 19 provinsi ada yang baru mencairkan alokasi insentif tenaga, khususnya yang berstatus honorer, kurang dari 25 persen.
"Salah satunya di Jawa Barat. Dari total alokasi dana insentif nakes berkisar Rp50 miliar, baru Rp20 miliar di antaranya yang sudah terserap pada dua pekan lalu," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021