Jakarta (ANTARA Bengkulu) - Bank Indonesia menilai saat ini bank perkreditan rakyat saat ini rawan praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme sehingga patut mendapatkan perhatian terutama melalui pelatihan bagi para pegawainya.

"Risiko tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme tidak hanya mengekspos bank umum yang memiliiki produk layanan yang kompleks, nasabah banyak dan transaksi bernilai besar, tetapi juga dapat mengekspos BPR walaupun produknya sederhana dan nilai transaksinya relatif kecil," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah di Jakarta, Senin.

Halim menyatakan hal itu saat membuka pelatihan penerapan program anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme Se-Jabodetabek di Kantor Bank Indonesia.

Menurutnya, pelatihan ini diperlukan karena BPR telah menjadi bank yang berperan dalam pengembangan ekonomi masyarakat setempat dengan fokus pada pembiayaan usaha produktif skala mikro kecil menggunakan produk dan layanan yang berbasis teknologi informasi.

"Ini menyebabkan risiko pemanfaatan BPR dalam tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme akan semakin meningkat," katanya.

Ia menyatakan menyambut baik pelatihan yang bekerja sama dengan Australian Transaction Reports and Analysis Centre (Austrac) ini.

Direktur Kredit, BPR dan UMKM Bank Indonesia Edy Setiadi mengatakan BPR memang rawan menjadi incaran pelaku praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme karena teknologi informasi yang digunakan masih lemah, sehingga harus diberikan tambahan pelatihan kepada para pegawai BPR dimulai dari BPR se-Jabodetabek.

"Pelatihan terhadap BPR akan dilakukan di enam kota selain Jakarta, untuk meningkatkan kemampuan pegawai dalam mematuhi pedoman Know Your Customer (KYC)," kata Edy.

Sementara itu, Wakil Ketua PPATK Agus Santoso mengatakan selama ini  sejumlah BPR sudah melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada PPATK, meski selama ini laporan terbanyak dilakukan oleh bank umum.

"Laporan dari BPR ada, namun jumlahnya kecil. Batasan yang dilaporkan sama yaitu transaksi tunai di atas Rp500 juta," katanya.

Edy Setiadi menambahkan, pihak pengawas perbankan akan selalu melihat apakan pedoman pelaksanaan anti-pencucian uang dan pendanaan terorisme sudah dilakukan BPR.

"Dalam aturannya kami tidak meminta BPR mendirikan unit anti-pencucian uang dan pendanaan terorisme, tetapi yang penting fungsi atau lini tersebut ada di BPR itu," katanya.
(T.D012/N002)

Pewarta:

Editor : AWI-SEO&Digital Ads


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012