Pekanbaru (Antara Bengkulu) - Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menilai organisasi nonpemerintah (NGO) asing Greenpeace selalu menyerang idustri kertas Tanah Air melalui kampanye negatif yang disuarakan ke dunia intenasional.

"Industri kertas nasional merupakan salah satu produk andalan Indonesia yang menggunakan bahan baku hutan tanaman industri. Namun, pertumbuhannya terhambat karena kehadiran Greenpeace," ujar Wakil Ketua Umum APKI, Rusli Tan ketika dihubungi dari Pekanbaru, Ahad.

Kehadiran organisasi penggiat lingkungan itu, lanjutnya, juga selalu menghembuskan kampanye hitam di dunia inernasional yang bertujuan agar negara tujuan ekpor dan sedang penjajakan kerjasama menolak produk kertas buatan Indonesia.

Seharusnya pemerintah Indonesia tidak perlu harus memberikan akomodasi secara terus menerus terhadap NGO baik asing maupun lokal yang tidak bersahabat dengan hasil produk terutama industri kertas dan minyak sawit mentah (CPO).

Pemerintah sudah harus memiliki keberanian untuk menyatakan sikap seperti apapun yang Indonesia lakukan tetap menanam pohon dan satu-satunya cara untuk membuat hutan menjadi bangus serta hutan harus memiliki nilai produktif.

"Bila tidak jual produk, maka untuk menjaga lingkungan atau rehabilatasi hutan dananya dari mana?. Ini menjadi sangat penting karena dulu pemerintah sudah terlanjur mengekspor kayu log," katanya.

Biro Kampanye Media Greenpeace Riau Zamzami mengatakan, pihaknya tidak anti industri sawit atau hutan tanaman industri untuk pembangunan Indonesia yang lebih baik.

"Greenpeace hanya berkampanye menghentikan perusahaan yang berusaha terus melakukan ekspansi perkebunanan di areal habitat satwa langka dan terus menutup akses masyarakat terhadap hutan," katanya.

Organisasi lingkungan tersebut menfokuskan diri pada kampanye penyelamatan lingkungannya pada empat sektor yakni hutan, iklim dan energi terbarukan, air bebas limbah beracun serta perlindungan laut.

Data Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), luas hutan tanaman industri yang dicadangkan pemerintah sekitar 10 juta hektare dan baru ditanami sekitar 4 juta hektare dengan jumlah perusahaan sekitar 245 unit.

Dari jumlah total perusahaan tersbut yang aktif sekitar 45 persen, sedangkan 55 persen tidak bekerja karena berbagai persoalan seperti konflik kepemilikan lahan, tumpang tindih antara kebun dan tambang, persoalan modal dan lain-lain. (Antara)

Pewarta: Oleh Muhammad Said

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013