Bengkulu (Antara Bengkulu) - Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) menyebutkan kasus sengketa lahan masyarakat dengan perkebunan skala besar mendominasi konflik agraria di Indonesia dalam tiga tahun terakhir.

"Dari 232 kasus sengketa lahan, sebanyak 119 kasus merupakan sengketa lahan masyarakat adat dengan perkebunan skala besar," kata Direktur Huma, Andiko Sutan Mancayo di Bengkulu, Senin.

Ia mengatakan hal itu saat peluncuran Sekolah Pendampingan Hukum Rakyat di Kampus Universitas Bengkulu yang diikuti puluhan orang.

Dari 323 kasus sengketa tersebut, sebanyak 91.968 orang dari 315 komunitas adat masyarakat di Indonesia menjadi korban dalam konflik tersebut.

Konflik, menurut dia terjadi di 22 provinsi dan 98 kabupaten dan kota di Tanah Air.

Selain sektor perkebunan, Huma juga melaporkan konflik sektor kehutanan dan pertambangan.

Konflik perkebunan terjadi 119 kasus dengan luas 415 ribu hektare, sementara konflik kehutanan terjadi 72 kasus dengan hampir 1,3 juta hektare dan konflik pertambangan 17 kasus dengan luas mencapai 30 ribu hektare.

Ia katakan, terdapat enam pelaku yang paling dominan dalam konflik sumberdaya alam dan agraria dengan proporsi keterlibatannya yakni Taman Nasional yang dikelola Kementerian Kehutanan, Perhutani, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), perusahaan/koperasi, perusahaan daerah, dan instansi lain.

Menurut dia, dalam penanganan kasus ini sering terjadi tindak kekerasan dimana negara menjadi pelanggar terbesar dengan keterlibatan mencapai 45 persen, kemudian instansi bisnis 36 persen dan individu berpengaruh sebanyak 10 persen.

Terdapat tujuh provinsi terbanyak mengalami konflik yakni Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Atas kondisi tersebut, Huma merekomendasikan penghentian sementara atas semua perizinan untuk perusahaan di bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan dan pesisir.

"Kedua, hentikan segala bentuk penanganan konflik dengan cara kekerasan, ketiga membentuk sebuah lembaga penyelesaian konflik agraria," tuturnya.

Berikutnya, menindak tegas perusahaan yang melanggar aturan, melakukan peninjauan kembali terhadap perundang-undangan yang tumpang tindih dan terakhir mengembalikan tanah rampasan perusahaan maupun pemerintah kepada masyarakat. (Antara)

Pewarta:

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013