Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) melakukan penegakan hukum secara tegas dan keras terhadap anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran dalam kasus kekerasan berlebih terhadap masyarakat.
Pernyataan ini tertuang dalam surat telegram atas nama Kapolri dengan Nomor : ST/2162/X/HUK.2.8./2021 yang ditandatangani oleh Kepala Divisi Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Senin tanggal 18 Oktober 2021.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono membenarkan telah diterbitkannya telegram Polri tersebut, dalam rangka mitigasi dan pencegahan kasus kekerasan berlebih yang dilakukan oleh anggota Polri agar tidak terulang kembali, dan adanya kepastian hukum serta rasa keadilan.
"Benar ada TR (telegram-red)," kata Argo.
Sedikitnya ada tiga kasus menonjol yang menjadi catatan Polri hingga menerbitkan surat telegram tersebut, yakni kasus Polsek Pecut Sei Tuan Polrestabes Medan Polda Sumatera Utara yang diduga tidak profesional dan proporsional dalam penanganan kasus penganiayaan.
Kasus berikutnya tanggal 13 Oktober 2021 terjadi kasus anggota Polresta Tangerang Polda Banten membanting mahasiswa yang melakukan unjuk rasa.
Serta kejadian ketiga pada tanggal yang sama 13 Oktober 2021, yakni kasus anggota Satlantas Polresta Deli Serdang Polda Sumatera Utara melakukan penganiayaan terhadap pengendara sepeda motor.
Terdapat 11 arahan atau cara bertindak yang tertuang dalam telegram Polri tersebut ditujukan kepada para Kasatwil dan Kapolda, di antaranya mengambil alih kasus kekerasan berlebih yang terjadi serta memastikan penanganan dilakukan secara prosedural, transparan, dan berkeadilan.
Memberikan petunjuk dan arahan kepada anggota pada fungsi operasional khususnya yang berhadapan dengan masyarakat agar pada saat melaksanakan pengamanan atau tindakan kepolisian harus sesuai dengan kode etik profesi Polri dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Memberikan penekanan agar dalam pelaksanaan tindakan upaya paksa harus mempedomani SOP tentang urutan tindakan Kepolisian sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Selanjutnya, memperkuat pengawasan, pengamanan dan pendampingan oleh fungsi Propam baik secara terbuka maupun tertutup pada saat pelaksanaan pengamanan unjuk rasa atau kegiatan upaya paksa yang memiliki kerawanan atau melibatkan massa.
Pada poin terakhir, Kapolri menginstruksikan untuk memberikan sanksi tegas terhadap anggota yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin atau kode etik maupun pidana, khususnya yang berkaitan dengan tindakan kekerasan berlebihan serta terhadap atasan langsung yang tidak melakukan pengawasan dan pengendalian sesuai tanggung jawabnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
Pernyataan ini tertuang dalam surat telegram atas nama Kapolri dengan Nomor : ST/2162/X/HUK.2.8./2021 yang ditandatangani oleh Kepala Divisi Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Senin tanggal 18 Oktober 2021.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono membenarkan telah diterbitkannya telegram Polri tersebut, dalam rangka mitigasi dan pencegahan kasus kekerasan berlebih yang dilakukan oleh anggota Polri agar tidak terulang kembali, dan adanya kepastian hukum serta rasa keadilan.
"Benar ada TR (telegram-red)," kata Argo.
Sedikitnya ada tiga kasus menonjol yang menjadi catatan Polri hingga menerbitkan surat telegram tersebut, yakni kasus Polsek Pecut Sei Tuan Polrestabes Medan Polda Sumatera Utara yang diduga tidak profesional dan proporsional dalam penanganan kasus penganiayaan.
Kasus berikutnya tanggal 13 Oktober 2021 terjadi kasus anggota Polresta Tangerang Polda Banten membanting mahasiswa yang melakukan unjuk rasa.
Serta kejadian ketiga pada tanggal yang sama 13 Oktober 2021, yakni kasus anggota Satlantas Polresta Deli Serdang Polda Sumatera Utara melakukan penganiayaan terhadap pengendara sepeda motor.
Terdapat 11 arahan atau cara bertindak yang tertuang dalam telegram Polri tersebut ditujukan kepada para Kasatwil dan Kapolda, di antaranya mengambil alih kasus kekerasan berlebih yang terjadi serta memastikan penanganan dilakukan secara prosedural, transparan, dan berkeadilan.
Memberikan petunjuk dan arahan kepada anggota pada fungsi operasional khususnya yang berhadapan dengan masyarakat agar pada saat melaksanakan pengamanan atau tindakan kepolisian harus sesuai dengan kode etik profesi Polri dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Memberikan penekanan agar dalam pelaksanaan tindakan upaya paksa harus mempedomani SOP tentang urutan tindakan Kepolisian sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Selanjutnya, memperkuat pengawasan, pengamanan dan pendampingan oleh fungsi Propam baik secara terbuka maupun tertutup pada saat pelaksanaan pengamanan unjuk rasa atau kegiatan upaya paksa yang memiliki kerawanan atau melibatkan massa.
Pada poin terakhir, Kapolri menginstruksikan untuk memberikan sanksi tegas terhadap anggota yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin atau kode etik maupun pidana, khususnya yang berkaitan dengan tindakan kekerasan berlebihan serta terhadap atasan langsung yang tidak melakukan pengawasan dan pengendalian sesuai tanggung jawabnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021