Pakar digital forensik dari Universitas Indonesia, Ruby Alamnsyah menyarankan orang tua memahami digital parenting, mendampingi, mengontrol, mengawasi, membatasi jam main online anak demi melindungi mereka dari perundungan dunia maya atau cyberbullying.
Penggagas Indonesian Cyber Crime Combat Center (IC4) sekaligus pendiri dan CEO Digital Forensic Indonesia (DFI) itu mengatakan, angka pengguna internet di Indonesia semakin meningkat, namun banyak yang belum paham etika atau perilaku dalam mengidentifikasi hal-hal negatif dari internet.
"Aktifkan parenting control, pilihkan platform yang boleh dimainkan, dan sekaligus memberi pemahaman bagi anak untuk melindungi dirinya," kata dia melalui siaran persnya, dikutip Senin.
Ruby menjelaskan, beberapa kategori cyberbullying antara lain pesan mengandung penghinaan, impersonation (membuat akun palsu seseorang untuk mempermudah pelaku melancarkan aksinya) dan cyberstalking (menguntit dan meneror).
Ada juga pencemaran nama baik, pemerasan, trolling (membuat komentar yang menyakitkan), outing (pura-pura menjadi teman tetapi kemudian mempermalukan korban), hingga doxing (menyebarluaskan informasi pribadi secara online).
"Untuk melindungi anak kita, orangtua jangan melimpahkan tanggung jawab bergawai kepada anak, namun tetap mengawal dan mengawasi penuh terhadap apa yang diberikan kepada anak. Think before click, think before post. Ingat, internet adalah ranah publik,” tegas Ruby.
Sebuah studi dari Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) tentang penetrasi internet dan perilaku pengguna internet mengungkapkan sekitar 49 persen dari 5.900 responden mengaku pernah diintimidasi secara online. Berdasarkan mediumnya, Twitter dengan kasus terbanyak terjadinya cyberbullying yakni 42 persen.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Internet of Things Indonesia (ASIOTI), Fita Maulani berpendapat, dalam upaya mencegah tindak cyberbullying anak, pemanfaatan teknologi Internet of Things (IoT) bisa menjadi solusi.
iOT merupakan sebuah konsep dimana sebuah obyek tertentu memiliki kemampuan untuk mengirimkan data melalui jaringan tanpa adanya interaksi dari manusia ke manusia, atau pun dari manusia ke perangkat komputer.
Teknologi GPS (Global Positioning System) dan smartphone yang bisa digunakan untuk remote TV atau AC, termasuk contoh IoT yang lekat dengan kehidupan orang-orang saat ini.
Fitur IoT dapat ditempatkan di area pribadi seperti kamar tidur atau kamar mandi, dengan mengaktifkan fungsi deteksi panas tubuh serta tingkat desibel untuk mengirimkan data dengan makna tertentu.
Dalam konteks cyberbullying, teknologi ini akan mengirim sinyal kepada orang tua atau guru sekolah melalui komputer atau perangkat seluler manakala sensor mendeteksi anomali di tingkat desibel yang tidak wajar, yang disebabkan oleh perundungan atau intimidasi.
Anak-anak juga dapat dilengkapi dengan wearable yang mampu mendeteksi sensor, baik itu GPS tracker atau panic button alert berupa jam tangan atau kalung, yang dapat difungsikan saat terdesak.
"Lindungi anak kita di dunia digital, salah satunya dengan tidak membagi foto atau menginformasikan keberadaan anak di media sosial. Kita tidak pernah tahu bahwa mungkin saja ada follower yang tidak dikenal, yang adalah pelaku kejahatan," kata dia.
Walau upaya melindungi masyarakat melalui Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah diberlakukan, namun masyarakat disarankan melakukan upaya preventif secara mandiri.
Upaya ini misalnya tidak menerima pertemanan dari orang yang tidak dikenal, membagikan informasi pribadi, hindari meng-install aplikasi dari tempat tidak resmi, menghindari menggunakan fitur check-in, jangan mudah terprovokasi dan bereaksi agresif.
Bila sudah terjadi tindak cyberbullying, sebaiknya simpan pesan atau email sebagai bukti digital, log off dari situs atau tempat terjadi, blokir pesan dan jangan menanggapi mereka.
Jika sudah sangat meresahkan, maka laporkan kejadian tersebut pada orang dewasa, orang tua atau pihak berwajib.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
Penggagas Indonesian Cyber Crime Combat Center (IC4) sekaligus pendiri dan CEO Digital Forensic Indonesia (DFI) itu mengatakan, angka pengguna internet di Indonesia semakin meningkat, namun banyak yang belum paham etika atau perilaku dalam mengidentifikasi hal-hal negatif dari internet.
"Aktifkan parenting control, pilihkan platform yang boleh dimainkan, dan sekaligus memberi pemahaman bagi anak untuk melindungi dirinya," kata dia melalui siaran persnya, dikutip Senin.
Ruby menjelaskan, beberapa kategori cyberbullying antara lain pesan mengandung penghinaan, impersonation (membuat akun palsu seseorang untuk mempermudah pelaku melancarkan aksinya) dan cyberstalking (menguntit dan meneror).
Ada juga pencemaran nama baik, pemerasan, trolling (membuat komentar yang menyakitkan), outing (pura-pura menjadi teman tetapi kemudian mempermalukan korban), hingga doxing (menyebarluaskan informasi pribadi secara online).
"Untuk melindungi anak kita, orangtua jangan melimpahkan tanggung jawab bergawai kepada anak, namun tetap mengawal dan mengawasi penuh terhadap apa yang diberikan kepada anak. Think before click, think before post. Ingat, internet adalah ranah publik,” tegas Ruby.
Sebuah studi dari Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) tentang penetrasi internet dan perilaku pengguna internet mengungkapkan sekitar 49 persen dari 5.900 responden mengaku pernah diintimidasi secara online. Berdasarkan mediumnya, Twitter dengan kasus terbanyak terjadinya cyberbullying yakni 42 persen.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Internet of Things Indonesia (ASIOTI), Fita Maulani berpendapat, dalam upaya mencegah tindak cyberbullying anak, pemanfaatan teknologi Internet of Things (IoT) bisa menjadi solusi.
iOT merupakan sebuah konsep dimana sebuah obyek tertentu memiliki kemampuan untuk mengirimkan data melalui jaringan tanpa adanya interaksi dari manusia ke manusia, atau pun dari manusia ke perangkat komputer.
Teknologi GPS (Global Positioning System) dan smartphone yang bisa digunakan untuk remote TV atau AC, termasuk contoh IoT yang lekat dengan kehidupan orang-orang saat ini.
Fitur IoT dapat ditempatkan di area pribadi seperti kamar tidur atau kamar mandi, dengan mengaktifkan fungsi deteksi panas tubuh serta tingkat desibel untuk mengirimkan data dengan makna tertentu.
Dalam konteks cyberbullying, teknologi ini akan mengirim sinyal kepada orang tua atau guru sekolah melalui komputer atau perangkat seluler manakala sensor mendeteksi anomali di tingkat desibel yang tidak wajar, yang disebabkan oleh perundungan atau intimidasi.
Anak-anak juga dapat dilengkapi dengan wearable yang mampu mendeteksi sensor, baik itu GPS tracker atau panic button alert berupa jam tangan atau kalung, yang dapat difungsikan saat terdesak.
"Lindungi anak kita di dunia digital, salah satunya dengan tidak membagi foto atau menginformasikan keberadaan anak di media sosial. Kita tidak pernah tahu bahwa mungkin saja ada follower yang tidak dikenal, yang adalah pelaku kejahatan," kata dia.
Walau upaya melindungi masyarakat melalui Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah diberlakukan, namun masyarakat disarankan melakukan upaya preventif secara mandiri.
Upaya ini misalnya tidak menerima pertemanan dari orang yang tidak dikenal, membagikan informasi pribadi, hindari meng-install aplikasi dari tempat tidak resmi, menghindari menggunakan fitur check-in, jangan mudah terprovokasi dan bereaksi agresif.
Bila sudah terjadi tindak cyberbullying, sebaiknya simpan pesan atau email sebagai bukti digital, log off dari situs atau tempat terjadi, blokir pesan dan jangan menanggapi mereka.
Jika sudah sangat meresahkan, maka laporkan kejadian tersebut pada orang dewasa, orang tua atau pihak berwajib.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021