Pfizer mengeklaim pil antivirus eksperimental untuk mengobati COVID-19 yang dikembangkannya memangkas hingga 89 persen risiko dirawat di rumah sakit atau kematian pada pasien dewasa.
CEO Pfizer Albert Bourla berjanji "senjata baru" untuk melawan pandemi itu akan tersedia secara global sesegera mungkin.
Hasil pengujian menunjukkan kemanjuran obat Pfizer itu melebihi molnupiravir buatan Merck & Co, yang diklaim dapat mengurangi separuh kemungkinan meninggal atau dirawat di RS pada pasien berisiko tinggi.
Pil Pfizer bernama Paxlovid itu diharapkan bisa mendapatkan izin dari regulator Amerika Serikat pada akhir tahun.
Pfizer mengatakan akan menyerahkan laporan sementara hasil pengujian ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA) sebelum 25 November.
Pengujian tersebut dihentikan lebih awal berkat tingkat keberhasilan yang tinggi.
Presiden Joe Biden mengatakan pemerintah AS telah memesan jutaan dosis obat Pfizer.
"Jika disetujui FDA, kita akan segera memiliki pil untuk mengobati virus pada mereka yang terinfeksi," kata Biden.
"Terapi itu akan menjadi perangkat baru dalam kotak peralatan kita untuk melindungi masyarakat dari dampak terburuk COVID."
Saham Pfizer, perusahaan yang juga memproduksi vaksin COVID-19 laris, meningkat 11 persen sebelum ditutup pada 48,61 dolar AS (Rp696.088), sedangkan saham Merck turun 10 persen menjadi 81,61 dolar.
Pemberian pil Pfizer dikombinasi dengan pil antivirus ritonavir, dua kali sehari masing-masing tiga butir. Terapi itu telah dikembangkan selama hampir dua tahun.
Pil COVID-19 seperti Pfizer dan Merck sangat ditunggu-tunggu karena pilihan yang ada saat ini begitu terbatas. Data pengujian lengkap dari kedua perusahaan belum tersedia.
Pfizer tengah bernegosiasi dengan 90 negara untuk memasok Paxlovid, kata Bourla.
"Tujuan kami adalah setiap orang di dunia bisa memperolehnya secepat mungkin," kata dia.
Bagi negara-negara kaya, kata Bourla, Pfizer berharap bisa membanderol obatnya mendekati harga obat Merck.
Kontrak Merck di AS menetapkan harga molnupiravir sekitar 700 dolar (Rp10 juta) per terapi lima-hari.
Sedangkan bagi negara-negara berpendapatan rendah-menengah, kata Bourla, Pfizer akan menawarkan sejumlah opsi agar "tidak ada penghalang bagi mereka untuk juga mendapatkannya."
Pil buatan Merck telah disetujui regulator Inggris dan menjadi obat COVID-19 pertama di dunia yang mendapat persetujuan.
Bahkan dengan potensi yang ditawarkan pil Pfizer dan Merck, mencegah infeksi COVID-19 lewat vaksin secara luas tetap menjadi cara terbaik untuk mengendalikan pandemi.
"Vaksin akan menjadi alat paling efektif dan andal yang kita miliki selama pandemi," kata Dr. Grace Lee, profesor kedokteran anak di Sekolah Farmasi Universitas Stanford.
"Obat-obatan oral seperti ini akan meningkatkan kemampuan kita untuk mengurangi risiko penyakit parah, dirawat di RS dan kematian, (terobosan) besar namun tidak mencegah infeksi."
Meski lebih dari tujuh miliar dosis vaksin telah diberikan di seluruh dunia, cakupannya baru sekitar separuh populasi dunia.
Analis Mizuho, Vamil Divan, memperkirakan obat Pfizer memiliki "dampak yang sangat kecil" pada mereka yang tidak mau divaksin atau disuntik dosis booster.
"Saya pikir hanya sedikit orang yang tidak mau divaksin karena ada pilihan pengobatan yang baik," kata Divan.
Pfizer berencana memproduksi 180.000 paket pengobatan Paxlovid hingga akhir tahun dan minimal 50 juta paket hingga akhir tahun depan.
Perusahaan itu tidak menyebut secara rinci efek samping Paxlovid, namun mengatakan kejadian ikutan muncul pada sekitar 20 persen pasien yang diuji.
Efek samping yang mungkin terjadi di antaranya adalah mual dan diare.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
CEO Pfizer Albert Bourla berjanji "senjata baru" untuk melawan pandemi itu akan tersedia secara global sesegera mungkin.
Hasil pengujian menunjukkan kemanjuran obat Pfizer itu melebihi molnupiravir buatan Merck & Co, yang diklaim dapat mengurangi separuh kemungkinan meninggal atau dirawat di RS pada pasien berisiko tinggi.
Pil Pfizer bernama Paxlovid itu diharapkan bisa mendapatkan izin dari regulator Amerika Serikat pada akhir tahun.
Pfizer mengatakan akan menyerahkan laporan sementara hasil pengujian ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA) sebelum 25 November.
Pengujian tersebut dihentikan lebih awal berkat tingkat keberhasilan yang tinggi.
Presiden Joe Biden mengatakan pemerintah AS telah memesan jutaan dosis obat Pfizer.
"Jika disetujui FDA, kita akan segera memiliki pil untuk mengobati virus pada mereka yang terinfeksi," kata Biden.
"Terapi itu akan menjadi perangkat baru dalam kotak peralatan kita untuk melindungi masyarakat dari dampak terburuk COVID."
Saham Pfizer, perusahaan yang juga memproduksi vaksin COVID-19 laris, meningkat 11 persen sebelum ditutup pada 48,61 dolar AS (Rp696.088), sedangkan saham Merck turun 10 persen menjadi 81,61 dolar.
Pemberian pil Pfizer dikombinasi dengan pil antivirus ritonavir, dua kali sehari masing-masing tiga butir. Terapi itu telah dikembangkan selama hampir dua tahun.
Pil COVID-19 seperti Pfizer dan Merck sangat ditunggu-tunggu karena pilihan yang ada saat ini begitu terbatas. Data pengujian lengkap dari kedua perusahaan belum tersedia.
Pfizer tengah bernegosiasi dengan 90 negara untuk memasok Paxlovid, kata Bourla.
"Tujuan kami adalah setiap orang di dunia bisa memperolehnya secepat mungkin," kata dia.
Bagi negara-negara kaya, kata Bourla, Pfizer berharap bisa membanderol obatnya mendekati harga obat Merck.
Kontrak Merck di AS menetapkan harga molnupiravir sekitar 700 dolar (Rp10 juta) per terapi lima-hari.
Sedangkan bagi negara-negara berpendapatan rendah-menengah, kata Bourla, Pfizer akan menawarkan sejumlah opsi agar "tidak ada penghalang bagi mereka untuk juga mendapatkannya."
Pil buatan Merck telah disetujui regulator Inggris dan menjadi obat COVID-19 pertama di dunia yang mendapat persetujuan.
Bahkan dengan potensi yang ditawarkan pil Pfizer dan Merck, mencegah infeksi COVID-19 lewat vaksin secara luas tetap menjadi cara terbaik untuk mengendalikan pandemi.
"Vaksin akan menjadi alat paling efektif dan andal yang kita miliki selama pandemi," kata Dr. Grace Lee, profesor kedokteran anak di Sekolah Farmasi Universitas Stanford.
"Obat-obatan oral seperti ini akan meningkatkan kemampuan kita untuk mengurangi risiko penyakit parah, dirawat di RS dan kematian, (terobosan) besar namun tidak mencegah infeksi."
Meski lebih dari tujuh miliar dosis vaksin telah diberikan di seluruh dunia, cakupannya baru sekitar separuh populasi dunia.
Analis Mizuho, Vamil Divan, memperkirakan obat Pfizer memiliki "dampak yang sangat kecil" pada mereka yang tidak mau divaksin atau disuntik dosis booster.
"Saya pikir hanya sedikit orang yang tidak mau divaksin karena ada pilihan pengobatan yang baik," kata Divan.
Pfizer berencana memproduksi 180.000 paket pengobatan Paxlovid hingga akhir tahun dan minimal 50 juta paket hingga akhir tahun depan.
Perusahaan itu tidak menyebut secara rinci efek samping Paxlovid, namun mengatakan kejadian ikutan muncul pada sekitar 20 persen pasien yang diuji.
Efek samping yang mungkin terjadi di antaranya adalah mual dan diare.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021