Surabaya (Antara) - Penari Prancis Thô Anothaï mempertemukan hip hop dari Barat dengan tarian tradisi Jepang dari Timur dalam tari kontemporer "Ikoto" atau "A Place to Be" di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Jumat malam.

         Pementasan "Ikoto" yang merupakan karya dari hasil kolaborasi penari Thô Anothaï (pendiri kelompok "Anothaï Dance Company") dan penari Ikko Suzuki (penari kontemporer Jepang) itu dibuka dengan kelompok tari hip hop asal Surabaya, yakni Street Pass Junior.

         "Ikoto berawal dari pertemuan Thô Anothaï dengan Ikko Suzuki, saat Thô Anothaï melakukan tari improvisasi di Malaysia," kata Penanggung Jawab Budaya dan Komunikasi IFI (Institut Français d'Indonésie) Surabaya, Pramenda Krishna A.

         Kreasi dalam ketenangan "zen" itu mengangkat hubungan antara tradisi dan modernitas yang memadukan antara tari tradisional Jepang, tari hip-hop, tari kontemporer dan teater.

         "Terinspirasi oleh keseimbangan Ying dan Yang membuat dialog energi tarian hip-hop ala Tho dengan tarian Ikko Suzuki dalam spirit pemikiran oriental yang saling melengkapi antara satu sama lain," katanya.

         Thô Anothaï adalah penari, koreografer hip-hop, dan pendiri kelompok Anothaï yang lahir di Laos pada tahun 1980 dan mulai menari secara otodidak pada usia 13 tahun di Bonneville, Prancis.

         Thô mengikuti dan menjuarai berbagai battle hip-hop di Prancis dan di luar negeri, seperti Italia, Jerman, dan Swiss. Pada tahun 2000, dia direkrut oleh Alexandra n'possee Company-Chambéry untuk membawakan karya mereka selama beberapa tahun.

         Dia berkeliling ke sejumlah negara, seperti Palestina, Belanda, India, China, Thailand, Laos, Kamboja, Kaledonia Baru, Amerika Serikat, dan sebagainya untuk memperkaya diri dengan tari dan kebudayaan lain.

         Sementara Ikko Suzuki lahir di Tokyo pada tahun 1972. Ia mulai menari setelah menyelesaikan studi di Universitas Ritsumeikan, Tokyo. Saat mempelajari kagura (bentuk paling kuno dari tari tradisional Jepang), Ikko diundang ke berbagai festival tari internasional dan residensi tari, baik tradisional maupun kontemporer.

         Ikko pernah diundang pada "Lombok Art Festival" pada tahun 2006 sebagai penari dan pemandu workshop. Ia pernah berkolaborasi dengan para penari asal Italia saat "Dance Triennale" di Tokyo pada 2006.

         Ia juga pernah mengundang penari kontemporer dan penari tradisional Jawa dari Indonesia ke Tokyo pada tahun 2007 (menciptakan karya berjudul "Water Dimension".

         "Yang jelas, pertemuan tarian Barat dan Timur dalam Ikoto itu merupakan bagian dari 'Open House IFI Surabaya' selama November yang menampilkan berbagai acara, seperti 'french trial class', presentasi tentang Prancis dan kuliah di Prancis, pemutaran film, kue khas Prancis, permainan, dan sebagainya," katanya.

    
         Wayang Beber
    Dalam rangka "Open House IFI Surabaya" itu, IFI Surabaya juga telah mementaskan wayang beber kontemporer bertajuk "Le Métro" di Auditorium IFI Surabaya pada 22 November 2013.

         "Pementasan wayang karya kolaborasi dari empat seniman Indonesia yang sebelumnya dipentaskan di Jakarta itu merupakan kerja sama IFI Surabaya dengan Appreroom yang dipersembahkan empat seniman," kata Pramenda Krishna A.  
    Keempat seniman adalah Dani Iswardana (visual artist), Tri Ganjar Wicaksono (dalang), Atieq SS Listyowati (performance artist), dan Pandu Hidayat (sound project digital comp. dan video art).

         "Kesenian wayang sudah mendarah daging dalam budaya Indonesia dengan berbagai jenisnya, seperti wayang kulit, golek, orang, klitik dan beber," katanya.

         Menurut dia, wayang beber merupakan titik awal dari segala bentuk wayang yang ada di Nusantara yang belum diketahui oleh masyarakat luas.

         "Bagi sekelompok seniman muda, wayang beber adalah medium menarik bagi karya seni masa kini. Inilah yang akan ditampilkan oleh keempat seniman yang berkolaborasi dalam kreasi terbaru mereka dengan sentuhan modern," katanya.

         Menurut catatan Appreroom, wayang beber adalah salah satu bentuk kesenian tradisional yang hampir punah dan kini menjadi 'anak tiri' dibandingkan dengan jenis wayang lainnya.

         Wayang beber diperkirakan lahir di masa Jayabaya (abad ke-9) dan bahkan sebelum Kerajaan Majapahit (abad ke-12), sehingga wayang beber merupakan 'cikal-bakal' keberadaan wayang klithik, wayang kulit, wayang golek dan sebagainya di Indonesia.

         Konon, perkembangan wayang beber itu terjadi semenjak wayang beber diubah oleh Sunan Kalijaga menjadi wayang kulit untuk menyamarkan figur manusia dalam gambar-gambar wayang beber.

         Wayang beber berkarakteristik berdasarkan kultur masing-masing pembuatnya serta dimana tumbuh dan berada. Tak hanya eksis di Pacitan, namun juga di Bali.

         Di Jawa, wayang beber identik dengan sebutan 'wayang panji' karena tokoh dan ceritanya diambil dari kisah cinta Panji Inu Kertapati dan istrinya Galuh Candra Kirana yang menyamar sebagai Panji Semirang dalam pencarian mereka masing-masing.

         Proses pencarian atas satu sama lain itu juga melahirkan kisah Ande-ande Lumut, Keong Mas dan sebagainya. Sementara di Bali, semula wayang beber memuat cerita Panji, namun kemudian lebih dikenal dengan cerita Ramayana dan Mahabharata akibat pengaruh agama Hindu yang mendominasi masyarakat suku Bali.

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013