Boleh dikatakan bahwa  2021 menjadi tahun duka bagi dunia fauna di wilayah Provinsi Aceh, mengingat kematian satwa liar yang dilindungi masih terus terjadi di provinsi paling barat Indonesia itu.

Perburuan liar dan konflik dengan manusia menjadi penyebab utama tingginya angka kematian satwa liar, seperti gajah, harimau, beruang madu dan beberapa satwa lain di hutan "Tanah Rencong" itu.

Intensitas tinggi kematian dan konflik satwa liar di bumi Serambi Mekkah itu juga disebabkan oleh maraknya perambahan hutan, alih fungsi hutan dan praktik penebangan liar.

Kasus belum lama ini, medio November 2021 dilaporkan seekor anak gajah sumatra (Elehas Maximus sumatranus) mati dengan kondisi yang memilukan akibat terkena jerat pemburu di kawasan hutan Aceh.

Anak gajah sumatera berusia satu tahun ini terjerat di bagian belalai, bahkan nyaris putus.

Luka yang dialami sudah menginfeksi, kondisi tubuh lemah, dan terpisah dari induknya, saat petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dan tim mengevakuasi dari hutan Desa Alue Meuraksa, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya.

Akibat kondisi luka di bagian belalai yang sudah parah dan membusuk, tim medis BKSDA Aceh memutuskan untuk memotong belalai anak gajah tersebut, dengan harapan nyawanya bisa diselamatkan.

Kondisi gajah sempat membaik selama menjalani perawatan medis di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Kabupaten Aceh Besar. Namun pada akhirnya, Selasa (16/11) pagi, anak gajah betina itu dilaporkan mati, setelah dua hari menjalani perawatan intensif di PLG Saree.

“Hasil nerkopsi tim medis bahwa anak gajah liar ini mengalami infeksi sekunder akibat luka terbuka yang berlangsung lama karena jerat, dan pencernaannya terganggu karena tidak optimal asupan makan selama terkena jerat di alam,” kata Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto.

Kematian anak gajah itu memperpanjang deretan kasus kematian satwa liar di Aceh akibat terjerat, seperti kasus-kasus sebelumnya, harimau, gajah dan beberapa satwa dilindungi lain yang juga menjadi korban.

Akhir Agustus 2021, tiga ekor harimau sumatra mati usai terkena jerat kawat spiral di Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan.

Tiga harimau, satu induk betina berusia 10 tahun dan dua anakan jantan dan betina ditemukan warga dalam kondisi mati di dua titik kawasan hutan lindung berbatasan dengan areal penggunaan lain (APL).

“Induk dan anak harimau betina diperkirakan sudah mati sekitar lima hari sebelum ditemukan, kemudian anak jantan sudah mati tiga hari sebelum ditemukan, hanya berjarak sekitar 5 meter dari induknya. Mati karena infeksi akibat jerat,” kata Agus.

Selain mati akibat jerat, selama 2021 BKSDA Aceh juga menangani beberapa kasus harimau terjerat, namun berhasil diselamatkan sehingga bisa dilepasliarkan kembali ke habitatnya.

“Selama 2021 ini baru satu kasus harimau mati terjerat, tapi tiga ekor sekaligus di Meukek, Aceh Selatan," katanya.

Cukup tinggi 

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia menyebutkan dalam kurun waktu 2015 - 2021 tercatat sebanyak 46 kasus kematian gajah terjadi di wilayah Aceh.

"Kasus kematian gajah juga cukup tinggi, dalam kurun waktu tujuh tahun itu ada 46 kasus kematian yang kita catat," kata Kepala Balai Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sumatera Subhan.

Pada periode itu terdapat 528 kasus konflik gajah dengan manusia di Aceh, meliputi 49 kasus pada 2015, sebanyak 44 kasus pada 2016 dan 103 kasus pada 2017.

Selanjutnya, 73 kasus pada 2018, sebanyak 107 kasus pada 2019, pada 2020 mencapai 130 kasus serta hingga Agustus 2021 tercatat sebanyak 76 kasus. Namun, dari total kasus tersebut hanya 46 kasus dengan kematian gajah.

"Ini harus menjadi perhatian. Kasus-kasus perburuan liar, juga jadi risiko tinggi akan menyusutnya jumlah satwa kunci di Aceh," kata Subhan.

Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto menilai jerat pemburu sangat mengancam populasi satwa liar di Aceh. Selain gajah dan harimau, jerat juga mengancam populasi satwa lain seperti badak sumatra, orangutan, beruang madu, dan satwa lainnya.

Masyarakat bumi Serambi Mekkah itu masih banyak menggunakan jerat saat berburu di hutan. Peruntukan jerat bermacam-macam, mulai dari jerat hama babi hingga jerat yang digunakan sebagai cara penanggulangan konflik satwa liar dengan manusia.

Misalkan, kata Agus, seperti jerat hama babi, setelah dipasang di hutan lalu kemudian ditinggalkan, sehingga tidak tertutup kemungkinan satwa liar lain juga akan terperangkap.

“Mereka setelah memasang baru beberapa hari kemudian melihat. Setelah dipasang, terus satwa terperangkap, memberontak, sehingga langsung mati,” kata Agus.

Sejak beberapa tahun terakhir, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian LHK telah menyatakan perang terhadap jerat. Sebab itu masyarakat diminta tidak memasang jerat atau racun yang dapat menyebabkan kematian satwa liar dilindungi.

“Karena perilaku seperti ini dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Agus.
 
Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh melakukan proses nekropsi terhadap bangkai anak gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) liar di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar, Aceh, Selasa (16/11/2021). (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Konflik

Perambahan hutan menjadi pemicu terjadinya konflik satwa liar dengan manusia, yang akhirnya menyebabkan banyak satwa mati. Habitat harimau dan gajah serta satwa lain mulai terganggu dengan aktivitas pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan.

Seperti harimau, menurut Agus, habitat mulai terganggu karena aktivitas perambahan hutan menjadi area perkebunan warga. Akhirnya, aktivitas itu memicu terjadi konflik antara manusia dengan harimau.

Beberapa daerah dengan intensitas tinggi konflik harimau dan warga, seperti Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Timur serta Aceh Singkil. Maka selain untuk berburu, masyarakat juga menggunakan alat-alat yang membahayakan seperti jerat untuk penanggulangan konflik satwa.

“Itu yang menjadi salah satu faktor kenapa alat jerat sangat membahayakan dan mengancam satwa liar. Sebetulnya yang diganggu area pergerakan satwa liar ini, masyarakat yang mengganggu wilayah harimau itu,” kata Agus.

Nasib sama juga dialami gajah. Perambahan hutan yang terus terjadi menjadi pemicu konflik satwa dengan manusia. Warga di beberapa daerah seperti Pidie, Pidie Jaya, Bener Meriah masih terus berkonflik dengan gajah. Rumah dan kebun warga kerap menjadi sasaran amukan hewan bertubuh besar itu.

Sebagai upaya penanggulangan konflik, kata dia, Aceh memiliki tujuh Conservation Response Unit (CRU) meliputi CRU Mila di Pidie, CRU Peusangan di Bener Meriah, CRU Sampoinet di Aceh Jaya, CRU Woyla Timur di Aceh Barat, CRU Cot Girek di Aceh Utara, CRU Serbajadi di Aceh Timur dan CRU Trumon di Aceh Selatan.

“Semua CRU kita aktif. Kita sekarang sedang merevitalisasi CRU. Kita akan melibatkan semua pihak terkait, dengan harapan bisa bersama-sama memperkuat CRU yang ada di Aceh,” katanya.

BKSDA Aceh juga memasang penghalang (barrier) untuk mencegah gajah masuk ke perkebunan dan pemukiman. Kemudian juga memasang kalung GPS pada salah satu gajah liar untuk mendeteksi setiap pergerakan kawanan gajah.

Data dari kalung GPS dinilai penting untuk pemasangan barrier sehingga wilayah yang menjadi pintu masuk dan keluar kawanan gajah liar ke perkebunan dan pemukiman penduduk dapat ditutup dengan penghalang.

“Penghalang bisa dalam bentuk parit besar atau juga bisa pagar kawat listrik (power fancing) dan bermacam-macam. Jadi saat ini kita sudah pasang kawat mencapai 59.000 meter di daerah konflik gajah yang cukup tinggi di Aceh,” katanya.

Upaya lain, BKSDA Aceh juga terus mensosialisasi dan mengimbau seluruh warga bersama-sama menjaga kelestarian alam khususnya satwa liar dilindungi dengan cara tidak merusak hutan yang merupakan habitat berbagai jenis satwa.

“Aceh ini benteng, memiliki satwa liar yang lengkap, harimau ada, orangutan ada, gajah ada dan badak juga ada, jadi lengkap. Oleh karenanya mari kita jaga bersama-sama,” kata Agus Arianto.







 

Pewarta: Khalis Surry

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021