Pontianak (Antara) - Korupsi dan pengungkapan kasus korupsi pada 2013 mengindikasikan kejahatan kelas tinggi itu sudah merambah dan mencengkeram berbagai tempat, bagaikan gurita dengan lengannya menjangkau semua tempat dan ruang kehidupan.

        Korupsi di Indonesia ibarat gurita yang memiliki banyak lengan dan alat hisap. Karena lengannya yang banyak itu, gurita dapat menangkap mangsa dengan mudah, menggapai tiap sudut.

        Gurita adalah hewan berkaki (berlengan) delapan. Kakinya yang banyak dapat menangkap makanan dengan mudah. Gurita dalam Kamus Bahasa Indonesia juga bisa berarti bisnis yang sudah tersebar ke mana-mana.

        Ketika istilah "gurita" digunakan dalam sebuah kasus, itu bisa menggambarkan kondisi yang sudah menyebar atau meluas. Dan, jika istilah itu digunakan untuk kasus korupsi (pelaku: koruptor), artinya korupsi itu sudah parah, menyebar ke banyak tempat dan melibatkan banyak orang.

        Setidaknya itulah yang terungkap di Indonesia pada tahun 2013. Korupsi sudah seperti gurita, mencengkeram ke mana-mana dengan pelaku yang beragam pula. Mulai dari kalangan swasta, eksekutif (pejabat pemerintah), legislatif (wakil rakyat), hingga yudikatif (penegak hukum).

        Untungnya, sebagian dari mereka masih bisa tertangkap.

        Sebut saja misalnya Anas Urbaningrum yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada bulan Februari. Pada bulan yang sama, tepatnya 1 Februari, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) ditangkap dalam kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

        Kemudian, Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini tertangkap KPK dalam kasus serupa dengan LHI, yakni menerima suap di SKK Migas dan tindak pidana pencucian uang. Kemudian, ada sejumlah anggota DPR RI, baik yang tertangkap tangan dalam kasus suap maupun pencucian uang, juga divonis bersalah dengan hukuman belasan tahun penjara.

        Angelina Sondakh misalnya, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, telah divonis Mahkamah Agung terkait dengan kasus korupsi Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. Angie divonis oleh majelis kasasi, 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp500 juta. Vonis itu lebih berat dari 4 tahun 6 bulan pada pengadilan tingkat pertama dan kedua meski terbukti memainkan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan Nasional.

        Lebih mengejutkan sekaligus membuat bangsa ini terpukul, tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar pada tanggal 2 Oktober. Akil diduga menerima suap dan melakukan pencucian uang dari hasil penanganan perkara pilkada sejumlah daerah di Mahkamah Konstitusi yang dia pimpin.

        Disusul penangkapan terhadap pengusaha yang juga suami Wali Kota Tangerang, Tubagus Chairi Wardhana alias Wawan, dalam kasus dugaan suap penanganan sengketa Pilkada Lebak di MK yang melibatkan Akil Mochtar.

        Selain itu, masih ada Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Sulawesi Selatan, Subri yang ditangkap pada tanggal 14 Desember saat menerima uang suap sengketa tanah. Kemudian yang paling anyar, ditahannya Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah pada tanggal 20 Desember atau sekitar tujuh hari lalu, menyusul pengungkapan kasus sengketa pilkada di MK.

        Sementara itu, hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri sejak 2005 hingga akhir Mei 2013, jumlah kepala daerah yang tersandung tindak pidana korupsi mencapai 294 orang dan diperkirakan meningkat hingga menjadi 300 orang pada akhir tahun ini.

        Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan pernah mengatakan bahwa jumlah kepala daerah tersandung korupsi bisa tembus 300 orang sampai akhir tahun. Dan, itu tampaknya sudah terbukti meski angka 300 semestinya baru sedikit yang terungkap.

        Kondisi korupsi yang sudah "menggurita", diakui Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Mulyadi P. Tamsir.

        Penindakan korupsi yang gencar dalam setahun ini merupakan pelajaran baru bagi para pemimpin di Indonesia meski menurut dia belum sepenuhnya jadi komitmen pemerintah karena masih ada yang belum benar-benar dibuka oleh Pemerintah melalui lembaga antikorupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

        Seperti pemeriksaan terhadap Wakil Presiden Boediono yang dilakukan di Kantor Wapres, Sabtu (23/11).

        Kala itu Boediono sebagai mantan Gubernur Bank Indonesia diperiksa sekitar delapan jam. Gubernur BI adalah penentu keputusan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) sebesar Rp6,7 triliun kepada Bank Century pada tahun 2008 untuk penyelamatan bank tersebut.

        Kemudian, untuk kasus Hambalang, Sekjen DPP Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) telah disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi Hambalang. Dia diduga menerima aliran dana Hambalang senilai 900 ribu dolar AS. Namun, tak ada pemeriksaannya.

        Serta Anas Urbaningrum, yang telah setahun menjadi tersangka dalam kasus Hambalang. Anas diduga menerima pemberian hadiah terkait dengan proyek Hambalang saat masih menjadi anggota DPR RI. Dia diduga menerima pemberian hadiah terkait perencanaan, pelaksanaan, dan pembangunan pusat olahraga Hambalang, dan proyek lainnya.  
   KPK menjerat Anas dengan Pasal 12 Huruf a atau Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penetapan Anas sebagai tersangka diresmikan melalui surat perintah penyidikan (sprindik) tertanggal 22 Februari 2013.

        Namun, kini pun tak ada kabar kelanjutan pemeriksaan terhadap mantan Ketua Umum PB HMI itu.

        "Dari beberapa kasus itu, mengindikasikan KPK masih menjadi alat pemerintah dan bukan alat penyidik negara," kata Mulyadi lagi.

        Menurut dia, masih banyak yang harus dibenahi dalam penegakan kasus korupsi di Tanah Air ini. Dan, harus selalu diingat bahwa KPK bukan alat pencitraan negara.

    
Introspeksi Diri
    Sekjen PB HMI Mulyadi P. Tamsir mengatakan bahwa introspeksi diri harus dilakukan bangsa ini. Begitu pula yang mesti dilakukan kader, pengurus HMI di seluruh Indonesia karena ada beberapa di antara mereka yang tersangkut korupsi itu adalah alumni HMI.

         "Kalau HMI, harus introspeksi diri. Mesti ada pembenahan, jika itu (korupsi, red.) memang benar dilakukan mereka," kata pria kelahiran Sintang, Kalbar itu.

         Ia mengatakan bahwa HMI tak pernah mendidik kadernya menjadi seorang koruptor. Selama ini HMI menanamkan semangat keislaman dan kebangsaan. Dari dua semangat itu, sangat menjauhkan diri dari korupsi.

         Kalau ada alumni yang tersangkut korupsi, bisa jadi karena "ikut arus". "Kalau itu yang terjadi, kami menyesalkan. Mencela," kata dia lagi.

         Sebagai bentuk komitmen kebangsaan, dia mengatakan bahwa PB HMI meminta agar kasus korupsi yang melibatkan alumni HMI diusut hingga tuntas. Meski secara personal, HMI tetap memberikan "support" (dukungan) kepada alumni yang tersangkut korupsi itu.

         Untuk mengantisipasi agar ke depan korupsi tidak "menggurita" dan melibatkan kader serta alumni HMI, pengurus besar memiliki empat program prioritas. Salah satu program itu adalah meningkatkan kualitas keislaman, yakni memunculkan kader-kader yang menjalankan syariah Islam, bukan hanya sebagai ibadah rutin, melainkan memiliki "nilai".

         Selain itu, setiap pengurus HMI dituntut belajar menerapkan prinsip akuntabilitas (beretika dan transparan) dalam berorganisasi. Menyiapkan laporan keuangan akuntabel sehingga terbiasa dengan laporan yang terbuka atau transparan.

         HMI, menurut dia, juga akan selalu mengawal regulasi yang berkaitan dengan hukum dan pemberantasan korupsi di Tanah Air.

         Dan, harapan pada tahun 2014 yang merupakan tahun politik, masyarakat tidak lagi memilih politikus yang pernah melakukan korupsi, tetapi pilihlah politikus yang tak pernah korupsi.

         "Begitu pula dalam memilih pemimpin bangsa ini. Benar-benar dipilih yang komitmen dengan pemberantasan korupsi," imbuhnya.

         Selain itu, dia mengatakan bahwa masih ada waktu bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengakhiri kepemimpinannya dengan husnulkhatimah, yakni berakhirnya kepemimpinan dengan baik dan santun.

         Agaknya seperti pernyataan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych, yang menyatakan perang terhadap korupsi. "Kita perlu mendeklarasikan perang secara tegas terhadap korupsi," kata Yanukovich dalam pertemuan Dewan Regional Ukraina seperti dikutip dari Xinhua-OANA.

         Agar kepemimpinan Presiden SBY berakhir dengan baik, hendaknya didukung kinerja yang baik pula dari KPK, yakni menjadi lembaga independen dan komitmen kuat berantas korupsi. KPK menjadi alat pemberantasan korupsi dan bukan alat pemerintah. Dan, jika KPK tak bisa jangkau level pemerintah daerah, hendaknya dibentuk pada setiap level provinsi.

         Peran pengadilan tindak pidana korupsi juga hendaknya makin dikuatkan untuk mendukung kerja KPK. Mereka yang duduk sebagai hakim dalam pengadilan tipikor, direkrut dan diseleksi secara jelas seperti merekrut penyidik KPK.

         "Itu semua agar integritasnya bisa dipertahankan," kata Sekjen HMI itu.

         Dengan demikian, pada tahun 2014 pemberantasan korupsi yang sudah "menggurita" dan seperti tak akan habis-habisnya itu makin gencar dan kuat lagi. Semoga.

Pewarta: Oleh Nurul Hayat

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013