Jakarta (Antara) - Prediksi yang tidak cerah menaungi sektor kehutanan di Indonesia karena investasi di sektor tersebut pada tahun 2014 berpotensi mandek karena pertumbuhan perekonomian Indonesia dinilai tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya.

"Skenario terburuk bila pertumbuhan Indonesia hanya di bawah 5 persen pada tahun 2014, investasi sektor kehutanan dapat mandek," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto dalam jumpa pers Capaian Kinerja Kemenhut Tahun 2013 di Jakarta, Senin (23/12).

Menurut dia, hal tersebut telah terlihat dari indikasi investasi sektor kehutanan pada tahun 2013 yang hanya meningkat sedikit yaitu hanya sekitar 3 persen.

Ia mengungkapkan bahwa investasi kehutanan di Tanah Air hanya meningkat dari Rp62,35 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp64,31 triliun pada tahun 2013.

Untuk investasi di sektor kehutanan pada tahun 2013 terbagi antara lain atas investasi industri sebesar Rp54,89 triliun, investasi hutan alam Rp6,6 triliun, investasi hutan tanaman rakyat Rp44,38 miliar, dan investasi restorasi ekosistem Rp20,58 miliar.

Sekjen Kemenhut mengemukakan bahwa penurunan investasi tampaknya terjadi di berbagai sektor akibat dari defisit neraca perdagangan yang dialami Indonesia.

Dampaknya, ujar dia, Pemerintah berencana mengerem pertumbuhan ekonomi karena salah satu penyebab defisit adalah banyaknya impor yang dibutuhkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.

Kebutuhan masyarakat, lanjutnya, terutama kelas menengah meningkat, tetapi tak bisa dipenuhi industri nasional.

Untuk itu, Hadi mengemukakan bahwa pihaknya dalam menyikapi perlambatan itu juga akan berstrategi dengan mengembangkan investasi padat karya dibandingkan dengan investasi padat modal.

Sementara itu, ekspor dari produk sektor kehutanan, terutama menuju ke negara China, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, India, Taiwan, Arab Saudi, Australia, dan Malaysia.

"Total nilai ekspor ke 154 negara adalah 5,69 miliar dolar AS," ucapnya.

    
         Modus Bergeser
Kemenhut juga menyatakan modus deforestasi pada saat ini mulai bergeser kepada eksploitasi sumber daya alam sehingga makin banyak aktivitas perkebunan dan pertambangan yang tidak berizin.

"Saat ini modus deforestasi dan degradasi hutan selain pembalakan liar (illegal logging) juga sudah bergeser kepada pola eksploitasi sumber daya alam, seperti kegiatan perkebunan dan pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin," kata Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kemenhut Sonny Partono.

Menurut Sonny, pihaknya selaku penanggung jawab perlindungan hutan telah melakukan upaya penegakan hukum terhadap para pelaku perusakan hutan dan peredaran ilegal hasil hutan.

Apalagi, berdasarkan data Kemenhut, perambahan hutan dan pembalakan liar pada tahun 2013 telah menimbulkan kerugian negara hingga sebesar Rp1,17 triliun.

Ia memaparkan, pada tahun 2013, terdapat berbagai kasus perambahan hutan yang ditangani oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan.

Sejumlah kasus itu, antara lain perambahan kawasan hutan produksi Desa Lapao Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara untuk penambangan oleh PT WIL, dan perambahan kawasan hutan lindung Gunung Bawang Kabupaten Bengkayang untuk penambangan oleh PT PHJ.

Penegakan perambahan hutan yang dilakukan oleh oknum investor atau sejumlah perusahaan sebenarnya juga sejalan dengan Simposium Jaringan Hakim Asia di Manila, Filipina, Desember 2013, yang digelar bersama oleh Bank Pembangunan Asia, Program Lingkungan PBB, dan World Wildlife Fund bertujuan memperkuat kerja sama pemberdayaan hukum lingkungan.

"Hakim Agung dan lembaga kehakiman senior lain memainkan peran penting guna memperbaiki pemberdayaan lingkungan dan memperkuat penegakan hukum," kata Penasihat Umum ADB Christopher Stephens.

Menurut dia, keberadaan mereka merupakan hal penting karena dapat mengarahkan profesi legal, komunitas penegakan hukum, dan masyarakat yang lebih luas menuju aturan sistem hukum yang mempromosikan keadilan lingkungan.

Apalagi, sumber daya alam saat ini dinilai berada dalam ancaman terkait nafsu beragam pihak untuk mengeksploitasi dan melakukan praktik-praktik yang merusak, seperti pembalakan liar dan penangkapan ikan ilegal.

Jaringan Hakim Asia juga menyorot bahwa terdapat kesenjangan dalam menghargai nilai modal sumber daya alam di sepanjang Asia sehingga dibutuhkan aturan hukum perlindungan sumber daya alam yang perlu lebih diperkuat.

Senada dengan Jaringan Hakim Asia, LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia mendesak Pemerintah tidak gegabah memberikan izin hutan tanaman industri (HTI) kepada perusahaan karena akan memicu pola yang mengakibatkan kerusakan sistematis.

"Tanggung jawab dan sanksi terhadap unsur eksekutif pemerintahan yang memberikan kuasa HTI dan perkebunan skala besar harus segera diwujudkan untuk mengendalikan kerusakan yang telah melampaui daya tampung lingkungan ini," kata Pengampanye Hutan Walhi Nasional Zenzi Suhadi.

Ia berpendapat bahwa kerusakan seperti banyaknya kebakaran hutan di berbagai daerah tidak bisa dilepaskan dari pola kebijakan peruntukkan lahan dan hutan di Indonesia yang mengacu pada relasi politik rezim yang berkuasa.

Menurut dia, telah terjadi perubahan pola eksploitasi hutan menjadi ekstraktif dan monokultur, seperti perkebunan sawit, HTI, dan tambang, yang menciptakan kerusakan yang lebih besar dan sistematis terhadap lingkungan dan hajat hidup rakyat.

"Puluhan juta wilayah hutan hujan tropis Indonesia mengalami degradasi menjadi lahan kritis dan bentang alam homogen oleh sawit, Ecalyptus dan Akasia, menciptakan akumulasi kerusakan yang kompleks dan masif terhadap bentang alam di beberapa pulau di Indonesia," katanya.

    
          Hentikan Monokultur
Selain itu, Walhi juga mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk menghentikan aktivitas penanaman monokultur (hanya satu jenis tanaman untuk lahan yang luas) karena mengingatkan pada masa kolonial.

"Walhi meminta Pemerintah untuk menghentikan model pengembangan perkebunan besar monokultur yang rakus lahan karena terbukti tidak mampu memperbaiki kesejahteraan rakyat, tetapi justru lebih banyak memberikan dampak negatif bagi keberlanjutan lingkungan dan keselamatan rakyat," kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan.

Menurut dia, pengalaman monokultur yang sedang dihadapi di berbagai daerah sebenarnya mengingatkan pemerintah RI akan pengalaman pahit pengembangan industri pangan melalui proyek lahan gambut sejuta hektare serta pengalaman pahit masa kolonialis liberal Hindia Belanda yang telah merusak sendi-sendi kehidupan rakyat.

Untuk itu, dia mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menghentikan pengembangan dan perluasan kebun-kebun monokultur skala besar, mengevaluasi monokulturisasi yang sudah berlangsung, serta melakukan audit menyeluruh terhadap perizinan yang sudah dikeluarkan.

Selain itu, lanjutnya, Pemerintah juga diminta menyelesaikan konflik sosial yang terjadi, menghentikan praktik-praktik "pemutihan" pelanggaran Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan segera melakukan moratorium konversi hutan berbasis capaian.

"Sudah saatnya pemerintah Indonesia mengkaji keberadaan investasi rakus lahan dan menggantikannya dengan mendorong pengelolaan pertanian berbasis rakyat, mendorong pengelolaan kawasan hutan berbasis rakyat dan komunitas, serta mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat atas wilayah kelolanya untuk perwujudan pembangunan yang berkeadilan dan lestari," ujarnya.

Ia memaparkan pengembangan komoditas dengan melakukan penanaman secara monokultur dalam luasan besar dan masif (perkebunan skala besar) memang telah berlangsung selama ratusan tahun di Indonesia.

Hal tersebut terjadi sejak perkebunan kayu skala besar sudah dirintis sejak abad ke-19, yaitu sekitar tahun 1847 oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk pemenuhan kebutuhan pembuatan kapal-kapal perang dan kapal-kapal dagang Belanda.

Di samping pembangunan kebun kayu secara monokultur dan masif, ujar dia, penguasa kolonial juga memaksakan monokulturisasi melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di sekitar tahun 1830 sampai dengan 1870 untuk pemenuhan kepentingan pasar Eropa.

Sementara itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan perekonomian Indonesia masih didominasi sektor ekstraktif, seperti pertambangan minyak dan gas bumi serta masih mengabaikan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan riset teknologi.

"Indonesia masih belum banyak meningkatkan kapasitas SDM dan riset. Ini cukup sedih karena berbeda dengan kondisi seperti di Korea Selatan dan China," kata Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Maxensius Tri Sambodo di Gedung Widya Graha LIPI, Jakarta, Selasa (17/12).

Menurut dia, kurang berkembangnya inovasi dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia, antara lain karena pembangunan di Tanah Air masih berdasarkan sumber daya alam, terutama perdagangan di sektor minyak bumi dan gas.

Fenomena tersebut, lanjutnya, merupakan hal yang sangat ironis karena mirip dengan yang menjadi pola perekonomian pada zaman kolonial Belanda yang bergantung pada pengeksploitasian sumber daya alam yang terdapat di Indonesia.

"Ini sama dengan zaman kolonial yang ekstraktif," ujarnya. (Antara)

Pewarta: Oleh Muhammad Razi Rahman

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013