Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan penyelamatan anggrek kantung (anggrek selop) dari genus Paphiopedilum membutuhkan dukungan semua pihak, termasuk masyarakat awam penggemar anggrek untuk melestarikan, melindungi dan melakukan konservasi terhadap tanaman itu.
"Upaya pelestarian idealnya perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat awam ataupun para penggemar anggrek," kata ketua tim peneliti Anggrek Paphiopedilum Kebun Raya Purwodadi BRIN Destario Metusala dalam taklimat media yang diterima di Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan karena laju degradasi kualitas habitat Paphiopedilum yang sedemikian cepat, maka kegiatan penelitian dan penyelamatan perlu dipercepat.
Perlu diketahui, kata dia, seluruh spesies anggrek Paphiopedilum yang berasal dari alam telah masuk dalam daftar kategori CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) appendix 1.
Anggrek tersebut tidak diperkenankan keluar dari negara asalnya kecuali hanya untuk keperluan non-komersial maupun penelitian, yang harus disertai dengan perizinan resmi dan pengawasan yang sangat ketat dari pemerintah.
Berdasarkan hasil kajian dari tim peneliti BRIN, katanya, strategi konservasi terbaik untuk Anggrek Paphiopedilum tidak dapat hanya melalui pendekatan aspek biologinya saja.
"Sangat penting juga untuk mempertimbangkan dan melibatkan aspek sosial dan ekonomi," katanya.
Upaya pelestarian anggrek kantung juga dapat dilakukan dengan kolaborasi bersama para penggemar anggrek di Indonesia.
Menurut dia pelatihan dasar budi daya dan pemberian wawasan konservasi bagi para penggemar anggrek di sekitar habitat dapat menjadi salah satu program prioritas pada 2022.
Begitu pula dengan pembuatan database penggemar anggrek yang dapat diakses para peneliti dan akademisi, memudahkan interaksi multi-pihak dalam mendorong kegiatan riil penelitian dan pelestarian Anggrek Paphiopedilum di berbagai daerah.
Beberapa langkah sederhana yang dapat dilakukan masyarakat maupun para penggemar anggrek dalam mendukung pelestarian Anggrek Paphiopedilum di Indonesia, antara lain secara langsung masyarakat melakukan pendalaman informasi tentang suatu spesies anggrek sebelum memutuskan untuk membeli/memeliharanya.
Informasi tersebut meliputi karakter budidaya anggrek seperti ketinggian habitat alaminya, kebutuhan sirkulasi angin, kebutuhan kelembaban, atau rentang toleransi intensitas cahayanya.
Ia mengatakan banyak spesies Paphiopedilum yang habitatnya terbatas pada area dataran tinggi di atas 1200 meter di atas permukaan laut, sehingga pemeliharaan di lokasi dataran rendah yang bersuhu panas dapat meningkatkan resiko kematian anggrek.
Selain itu, masyarakat dapat menghindari membeli anggrek cabutan alam yang belum dipelihara atau mengalami cukup masa adaptasi oleh penjual.
Masyarakat juga bisa lebih memilih untuk membeli tanaman Anggrek Paphiopedilum hasil dari budidaya kultur in-vitro atau yang seringkali disebut dengan istilah bibit botolan.
"Umumnya bibit anggrek hasil kultur in-vitro menunjukkan kemampuan adaptasi dan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan hasil dari cabutan alam," katanya.
Peta jalan pelestarian anggrek Paphiopedilum di Indonesia merupakan tahapan panjang yang tidak dapat tuntas hanya dengan 1-2 tahun penelitian saja.
Oleh karena itu,kegiatan tersebut akan terus dijalankan dengan membuka kolaborasi seluas-luasnya baik dengan pihak di dalam negeri maupun dari luar negeri, demikian Destario Metusala.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022
"Upaya pelestarian idealnya perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat awam ataupun para penggemar anggrek," kata ketua tim peneliti Anggrek Paphiopedilum Kebun Raya Purwodadi BRIN Destario Metusala dalam taklimat media yang diterima di Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan karena laju degradasi kualitas habitat Paphiopedilum yang sedemikian cepat, maka kegiatan penelitian dan penyelamatan perlu dipercepat.
Perlu diketahui, kata dia, seluruh spesies anggrek Paphiopedilum yang berasal dari alam telah masuk dalam daftar kategori CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) appendix 1.
Anggrek tersebut tidak diperkenankan keluar dari negara asalnya kecuali hanya untuk keperluan non-komersial maupun penelitian, yang harus disertai dengan perizinan resmi dan pengawasan yang sangat ketat dari pemerintah.
Berdasarkan hasil kajian dari tim peneliti BRIN, katanya, strategi konservasi terbaik untuk Anggrek Paphiopedilum tidak dapat hanya melalui pendekatan aspek biologinya saja.
"Sangat penting juga untuk mempertimbangkan dan melibatkan aspek sosial dan ekonomi," katanya.
Upaya pelestarian anggrek kantung juga dapat dilakukan dengan kolaborasi bersama para penggemar anggrek di Indonesia.
Menurut dia pelatihan dasar budi daya dan pemberian wawasan konservasi bagi para penggemar anggrek di sekitar habitat dapat menjadi salah satu program prioritas pada 2022.
Begitu pula dengan pembuatan database penggemar anggrek yang dapat diakses para peneliti dan akademisi, memudahkan interaksi multi-pihak dalam mendorong kegiatan riil penelitian dan pelestarian Anggrek Paphiopedilum di berbagai daerah.
Beberapa langkah sederhana yang dapat dilakukan masyarakat maupun para penggemar anggrek dalam mendukung pelestarian Anggrek Paphiopedilum di Indonesia, antara lain secara langsung masyarakat melakukan pendalaman informasi tentang suatu spesies anggrek sebelum memutuskan untuk membeli/memeliharanya.
Informasi tersebut meliputi karakter budidaya anggrek seperti ketinggian habitat alaminya, kebutuhan sirkulasi angin, kebutuhan kelembaban, atau rentang toleransi intensitas cahayanya.
Ia mengatakan banyak spesies Paphiopedilum yang habitatnya terbatas pada area dataran tinggi di atas 1200 meter di atas permukaan laut, sehingga pemeliharaan di lokasi dataran rendah yang bersuhu panas dapat meningkatkan resiko kematian anggrek.
Selain itu, masyarakat dapat menghindari membeli anggrek cabutan alam yang belum dipelihara atau mengalami cukup masa adaptasi oleh penjual.
Masyarakat juga bisa lebih memilih untuk membeli tanaman Anggrek Paphiopedilum hasil dari budidaya kultur in-vitro atau yang seringkali disebut dengan istilah bibit botolan.
"Umumnya bibit anggrek hasil kultur in-vitro menunjukkan kemampuan adaptasi dan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan hasil dari cabutan alam," katanya.
Peta jalan pelestarian anggrek Paphiopedilum di Indonesia merupakan tahapan panjang yang tidak dapat tuntas hanya dengan 1-2 tahun penelitian saja.
Oleh karena itu,kegiatan tersebut akan terus dijalankan dengan membuka kolaborasi seluas-luasnya baik dengan pihak di dalam negeri maupun dari luar negeri, demikian Destario Metusala.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022